And all we ever stay is torn
Ting!
Ayah Addi
Pulang sekarang
Pulang atau saya minta orang buat jemput secara paksa
18.04Rendra mendapatkan pesan dari ayahnya. Sebuah pesan yang membuatnya menghela napas berat. Dia ingin mengabaikan pesan itu, tapi dia tidak mau jadi anak durhaka untuk ayahnya. Dia memberanikan diri untuk mengiyakan panggilan ayahnya itu. Sudah lama dia mengacuhkan semua pesan ayahnya. Lagian percuma juga mengabaikan pesan dari ayahnya, ujung-ujungnya juga pasti bakal bertemu lagi.
Di sinilah Rendra sekarang, berhadapan dengan sang ayah di rumah megahnya. "Ayah kenapa panggil saya?"
Plak!
Tamparan keras dilayangkan oleh ayahnya tepat mengenai pipi dan rahang kiri Rendra. Sebutan 'ayah' darinya saja sudah membuat emosi Addi meluap-luap.
"Gak usah panggil saya ayah!"
Rendra mengangguk.
"Kasih ini ke Juna. Minta dia membatalkan kerjasama dengan Perusahaan TD." Ayahnya memberikan kertas berisikan materai.
Rendra membulatkan matanya."Gak bisa, Yah."
Plak!
Tamparan lagi. Rendra menghela napasnya. "Saya gak bisa kasih ini ke Bapak. Ini bukan hak saya."
"Oke kalau kamu gak mau. Berarti saya harus bikin Direktur perusahaan TD membatalkan kerjasamanya dengan Bapak kamu itu."
"Apa yang Anda rencanakan?"
"Menghancurkan Juna," jawab Addi santai.
Rendra terdiam dan membeku. Apa maksud ayahnya ingin menghancurkan Bapak Juna?
"Yah, jangan ngelakuin itu, Rendra mohon," mohon Rendra.
Plak!
Lagi-lagi sebuah tamparan dia dapatkan. Rendra menatap ayahnya itu.
"Kamu berani menatap saya?!" tanya ayahnya keras.
Saat ayahnya hendak melayangkan tamparan lagi, Rendra langsung menahannya. Dia menatap dalam sang ayah. Matanya berkaca-kaca.
"Kenapa? Mau ngelawan? Sekarang udah berani?" tantang ayahnya.
"Yah..."
"JANGAN PANGGIL SAYA AYAH KAMU!"
Rendra semakin menatap ayahnya. Tatapannya sama sekali tidak goyah. "Tapi Rendra tetap anak Ayah," ucapnya lirih, matanya berkaca-kaca. Sudah cukup selama ini dia menderita.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENDRA || Huang Renjun
Fanfiction[ S E L E S A I ✅ ] Bunda...aku capek, boleh aku peluk bunda sekali saja? -Rendra Junaldi