Katanya Rendra anak tidak berguna, benarkah Tuhan?
Benar dugaannya, dia tidak akan aman kalau surat itu sampai ke tangan ayahnya. Lihatlah sekarang, jam yang harusnya diisi dengan kedamaian oleh orang di luar sana tidak berlaku bagi Rendra. Rumah megah itu malah diisi dengan kemarahan dan penyiksaan. Sekian banyak manusia di muka bumi ini, hanya ayahnya-lah orang yang paling dia takuti. Kemarahan sang ayah sama saja dengan mencari kematian.Plak!
Satu tamparan keras tepat mengenai pipi sang anak. Tamparan itu cukup keras hingga membuat pipi Rendra menjadi merah dan ujung bibirnya mengeluarkan darah.
"Kamu sudah saya bilang jangan cari perkara di sekolah! Sekarang apa? Kenapa surat ini ada di tangan saya? Memang dengan kamu seperti ini saya akan lebih memperhatikan kamu? Begitu?! Kamu mau bikin saya malu? Iya?!"
Prang!
Gelas kaca yang ada di atas meja berhasil dilayangkan dan hampir mengenai wajah Rendra yang sudah penuh luka. Dia hanya bisa menutup matanya erat-erat dan menahan perih saat kaca itu menyentuh kulit pipinya.
"Cukup dengan penyakit sialan kamu itu menyusahkan saya, jangan ditambah lagi dengan sikap kamu seperti ini."
"Sekarang jawab! Kenapa saya harus mendapatkan surat ini?! Kamu benar-benar gak bisa diharapkan! Anak ga tau diri! Ga berguna!"
"Kenapa diam?!"
"TONO!" panggil ayahnya itu kepada orang suruhannya. Laki-laki yang bernama Tono itupun segera menghampirinya sambil membawa tongkat yang biasanya dipakai untuk menghukum Rendra.
"Yah..." Rendra menatap sang ayah memohon penuh harap agar dia tidak kembali dipukul hari ini. Walaupun dia tahu, hal itu tidak akan mempengaruhi kebencian sang ayah kepada dirinya. Ayahnya menarik Rendra ke ruangan itu lagi, ruangan yang menjadi tempat penyiksaannya 12 tahun ini.
"Rendra janji gak bikin Ayah malu lagi, Yah, ampuni Rendra kali ini."
Ayahnya tetap tidak mendengarkan permohonan anaknya. Dia langsung mengunci pintunya dari dalam dan memberikan hukuman kepada Rendra. Lebih kurang selama 30 menit dia dihukum di dalam ruangan itu. Rendra menguatkan dirinya untuk jalan ke kamarnya sendiri. Semua badannya terasa remuk.
"Aden, baik-baik aja?" tanya Bibi dengan wajah penuh kecemasan di depan pintu kamar Rendra.
"Gak apa-apa kok Bi," jawab Rendra lirih, bahkan dia kesulitan buat bicara.
"Bibi obatin ya, Den."
"Ga usah, Bi. Saya mau sendiri." Rendra langsung menutup pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam. Dia membaringkan badannya perlahan. Tidak ada niatan untuk mengobati luka di sekujur badannya. Bahkan berbaring saja rasanya sangat menyakitkan. Dia selalu tidak bisa melawan ucapan atau tindakan ayahnya. Seakan-akan ada kalimat yang selalu menahannya untuk tidak membalas perbuatan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RENDRA || Huang Renjun
Fanfiction[ S E L E S A I ✅ ] Bunda...aku capek, boleh aku peluk bunda sekali saja? -Rendra Junaldi