34. Rendra, bukan Raka

3K 516 137
                                    

Karena Raka sudah meninggal, yang ada hanya Rendra. Rendra Junaldi.


Sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sakit. Hanya itu yang dirasakan oleh Rendra saat ini. Dia tidak bisa membayangkan kalau sekiranya dia bilang yang sebenarnya kepada Dirga, entah apa respon dari Dirga.

Apakah Dirga akan menertawakannya? Apakah Dirga akan membentaknya seperti tadi? Apakah Dirga akan membencinya juga seperti ayah yang sangat membenci dirinya?

Rendra hanya butuh kasih sayang dari keluarga. Tapi kenapa kasih sayang itu dia dapatkan dari orang yang bahkan tidak ada kaitan darah dengannya? Kenapa sesusah itu mendapatkan kasih sayang dari keluarganya?

Apakah dia beneran seorang anak yang tidak diharapkan di keluarganya? Apakah dia benar-benar anak pembawa sial? Bahkan menangis pun rasanya Rendra tidak bisa. Seakan air mata pun tidak bisa menutupi semua luka yang dia rasakan.

Dia berjalan lunglai, membuka pintu kosan tanpa semangat. Rasanya hari ini dia ingin menghilang saja.

"Muka maneh kenapa lagi, Ren? Maneh berantem sama siapa?" Haekal kaget saat melihat Rendra.

Rendra tidak menjawab, dia tetap jalan menuju kamarnya. Tangannya langsung ditahan Haekal. Gak hanya Haekal, ada Ema dan Arkhan juga di sana.

"Maneh berdarah-darah kek gini kenapa, Ren? Berantem sama siapa?" tanya Haekal lagi.

"Bukan urusan lo," jawab Rendra singkat tanpa ekspresi.

"Gimana bukan urusan urang? Siapa yang ngelakuin? Tirta lagi? Kan udahan masalahnya? Siapa, Ren?" desak Haekal, jujur dia panik. Mana wajah Rendra sangat pucat.

"Gue capek, please." Rendra melepas tangan Haekal yang masih menahan dirinya.

"Jawab dulu!"

"Gue mohon, gue capek. Kalau mau bentak gue, nanti aja. Kasih gue jeda," mohon Rendra pelan. Melihat ekspresi Rendra yang memohon padanya, membuat Haekal jelas langsung terdiam. Jarang-jarang Rendra memohon seperti ini.

Dia langsung masuk ke kamarnya. Dia beneran capek dengan semuanya. Capek harus menutupi kenyataan ini. Capek harus pura-pura tidak mengenal Bunda dan Bang Dirga. Capek harus menutupi keadaannya. Capek harus bersikap biasa saja di depan semua orang. Dia sudah capek memasang topeng seolah dirinya baik-baik saja. Dia tidak baik-baik saja saat ini. Keadaan ini terus memukul batin dan fisiknya. Dia sudah tidak kuat.

Rendra memegang pelipisnya, ada darah di sana. Dia tersenyum melihat itu. "Seharusnya tadi gue bersyukur Bang Dirga datang. Kalau tidak, mungkin lukanya lebih dari ini," lirihnya pelan.

Kenapa dia tidak bisa memberikan perlawanan atau setidaknya berlindung dari pukulan-pukulan ayahnya? Kenapa dia selalu menerima begitu saja? Padahal dia bisa saja menghindar, bahkan dia tau setiap apa saja yang akan dilakukan oleh ayahnya kepada dirinya. Dia bisa memprediksi itu.

RENDRA || Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang