Sehari sebelum kedatangan Sinta ke rumah Faris, Mama Faris mengirimi Sinta pesan singkat;
[Dek, ada laki-laki yang bilang sama Mbak kalau mau nikâh sama kamu. Tapi kamunya mau gak ya sama dia? Hehe.]
'Dek', memang itulah panggilan Mama Faris pada Sinta. Sedangkan Sinta sendiri disuruh beliau untuk memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Biar lebih akrab," alasannya.
Sinta heran dengan isi pesan itu.
[Maksudnya, Mbak? Memangnya siapa?]
[Hehe. Gak mungkinlah Mbak kasih tau di sini. Besok sore aja kamu datang ke rumah Mbak ya, Dek.]
[Oh.. Iya, Mbak, insyâ Allâh.] balas Sinta.
🌸🌸🌸
Pukul 16:00 WIB Sinta datang ke rumah Faris. Rumahnya berada di salah satu kawasan kompleks yang cukup mewah. Di teras rumah terlihat Papa Faris sedang memandikan kucing Persia milik mereka. Setelah tahu ada Sinta, dia segera masuk ke dalam rumah dan memanggilkan istrinya.
Tak lama keluarlah Mama Faris, wanita paruh baya itu tersenyum ramah ketika Sinta masuk ke rumahnya. Mereka membicarakan rencana untuk pengajaran Faris ke depannya. Sampai akhirnya,
"Sebenarnya Mbak punya 3 permintaan sama kamu, Dek. Tapi ketiganya harus kamu tepati ya, kalau Mbak udah kasih tahu nama laki-laki itu. Janji?"
Penasaran, Sinta mengangguk saja.
"Yang pertama, Mbak ingin kamu anggap Mbak ini sebagai Mbakmu sendiri. Yang kedua, Mbak minta jawabannya dalam waktu 3 hari. Dan yang ketiga, kalaupun jawaban kamu enggak, kamu harus tetap mau mengajar Faris. Bagaimana?"
"Kalau untuk memenuhi janji yang pertama sih aku gak ada masalah, Mbak, yang ketiga juga. Cuma kan aku masih SMA kelas XI, gak mungkin nikâh sekarang-sekarang ini," jawab Sinta.
"Tenang aja, Dek. Katanya dia mau nungguin kamu sampai lulus kok," ujar Mamah Faris mantap.
"Iya, tapi aku harus tau namanya dulu siapa, Mbak. Kok Mbak bisa kenal sih?"
"Tapi jangan kaget ya," imbuhnya. "Namanya... PaFa. Kamu kenal kok, Dek," Mama Faris tersenyum.
"Hah? Siapa itu, Mbak?" Sinta semakin bertanya-tanya.
"Papanya Faris. Faris kan manggil ke papanya, 'PaFa'. Artinya, Papa Faris. Kalau ke Mbak, 'MaFa'. Biar beda gitu sama orang lain. Hehe.."
Apa?? Sontak Sinta kaget. Dia hanya mematung dan mengalihkan pandangannya ke lantai putih di depannya.
🌸🌸🌸
Sinta datang ke rumah Mama Nabil, seorang Ibu paruh baya dari 6 orang anak itu bukan tanpa alasan. Beliaulah yang mengenalkan Sinta pada Mama Faris melalui gawai.
"Saya gak tahu bakal kayak gini jadinya, Sinta. Dulu Papa Faris datang langsung ke rumah ini setelah tahu suami saya baru meninggal. Dia mendesak ingin mencari guru ngaji untuk anaknya," ucap Mama Nabil lembut.
"Pantas saja dulu mintanya guru perempuan yang masih gadis atau janda. Saya gak nyangka bakalan mau dijadikan istrinya. Padahal belum mulai kan ngajinya juga?" Tanya Mama Nabil tak menyana.
"Belum, Bu," jawab Sinta lirih. Otaknya masih mencerna kejadian yang baru saja dia alami. Dia mengingat detil setiap kalimat yang Mama Faris katakan.
"Tapi gimana ya, Bu? Aku udah janji bakalan mau ngajarin Faris walaupun jawabannya enggak. Tapi aku takut ke rumahnya lagi. Tadi aja ada Papa Faris di sana," ujar Sinta. Ada nada takut dalam suaranya.
"Udah, kamu gak perlu ke sana lagi, khawatir jadi fitnah. Nanti bilang aja ke Mama Faris, kamu gak bisa memenuhi janjinya itu," Mama Nabil memberi ide.
🌸🌸🌸
[Gimana, Dek? Udah ada jawabannya belum?]
Pesan singkat yang tidak Sinta harapkan itu dari Mamah Faris.
[Maaf, Mbak, gimana ya.. Aku masih lama lulus SMA-nya juga.] alasan Sinta, memaksakan.
[Udah gak apa-apa, Dek. Kalau kamu mau, nanti PaFa yang membiayai sekolah kamu sampai lulus.]
Membiayai? Seketika Sinta teringat dengan orang tuanya. Betapa mereka bersusah payah, berpeluh-peluh membiayai Sinta dan kedua kakaknya.
'Aku harus sampaikan pada Ibu!' Sinta bertekad.
"Bu, yang kemarin itu nanyain lagi... Sinta harus jawab apa?" Tanya Sinta bingung.
"Ih. Gak mau Ibu kalau kamu jadi yang kedua. Lagian, Sinta, kamu tuh masih kecil, masih SMA!" jawab Ibu Sinta sambil bergidik.
"Tapi, Bu, katanya dia mau membiayai sekolahku sampai lulus," Sinta berkilah, ingin lebih tahu jawaban ibunya.
"Halah.. Biaya Sekolah kamu kan murah.. Ibu juga masih sanggup biayain kamu. Ngapain harus sama dia?"
Seketika kekaguman Sinta kepada ibunya yang berkarakter kuat itu semakin bertambah.
Sinta meraih ponselnya. Ketika akan mengetik pesan balasan ke nomor Mama Faris, tiba-tiba dia tertegun membaca pesan yang masuk. Lagi-lagi, dari Mama Faris.
[Dek, ditunggu ya balasannya. Kata PaFa, biar "Caina herang, laukna beunang". Hehe.]
Sebagai orang Sunda karbitan, Sinta tidak mengerti arti peribahasa tersebut. Diapun kembali menanyakan kepada Ibunya.
"Ya intinya mah artinya biar bisa dapat yang diinginkan tanpa menimbulkan masalah," jawab Ibu Sinta semakin sebal.
Setelah mengantongi jawaban dari Ibunya, Sinta semakin mantap untuk mengetik jawabannya sendiri.
🌸🌸🌸
[Maaf ya, Mbak, orang tuaku gak setuju aku dipoligami. Aku juga masih terlalu kecil kata mereka, jadi gak diizinkan nikâh dulu sekarang-sekarang ini.] ketik Sinta berusaha diplomatis.
Semenit, dua menit, tiga menit, belum juga ada jawaban dari nomor Mama Faris. Sampai akhirnya ponsel Sinta bergetar kembali.
[Mungkin Papa Faris & Mbak bisa meyakinkan orang tua kamu, Dek. PaFa bilang kalau kamu gak nerima, beliau akan pergi ke Jepang.]
Apa ini ancaman? Dan hei, Jepang? Bukankah dulu Mama Faris menanyakan pada Sinta tentang apa hukumnya tinggal di negara yang tidak dikumandangkan adzan? Beliau dulu bertanya seperti itu karena suaminya ada tawaran kerja di Jepang.
Saat dulu Mama Faris bertanya seperti itu, Sinta hanya menyampaikan ilmu yang dia dapat dari kajian. Sinta juga menyarankan, jika memungkinkan, lebih baik mencari pekerjaan di sini, tidak mesti ke Jepang. Kalaupun gara-gara penolakannya itu Papa Faris mengancam akan pergi ke Jepang, itu bukan urusan Sinta. Benar, bukan?
Bersambung....
#berdasarkankisahnyata
#bukannamasebenarnya
#ctsstory10.30.19.
(Sentuh layar dari bawah ke atas untuk membaca part selanjutnya ⬇️⬇️⬇️)