Mendengar ibunya berkata seperti itu, Sinta menerobos keluar rumah demi melihat siapa wanita yang dimaksud. Untuk sepersekian detik, dia mematung.
'Yâssalâm.. Apakah penampakan di depanku ini nyata?' Sinta berharap perempuan yang duduk di kursi depan mobil itu dedemit, bukan wanita bercadar sepertinya.
"Oh, pantas saja dari kemarin-kemarin kamu susah dihubungi! Ternyata kamu nikâh lagi! Hebat kamu ya!" Akhirnya kalimat itu Sinta keluarkan dengan setengah berteriak dan tentu saja, dengan tangis tercekat. Orang tua Sinta yang khawatir tetangganya mendengar teriakan anaknya langsung mengajak Sinta masuk ke dalam rumah.
Si Perempuan itu masih saja duduk bergeming, membelakangi Sinta. Mungkin dia tak mendengar karena mesin mobil tidak dimatikan dari sejak Kamal datang.
'Niat sekali mereka mau langsung kabur begitu saja membawa aku! Pantas dia buru-buru minta aku segera keluar rumah!' Nalar Sinta bekerja.
Sebenarnya, Sinta juga ingin sekali melampiaskan amarahnya pada Si Perempuan itu. Namun dia tahu, Kamal pasti akan membela istri barunya, dan itu akan menambah luka Sinta yang sudah menganga. Luka di atas luka.
Setelah memastikan Faruq duduk di kursi belakang mobil, Kamal menghampiri istrinya. Istri pertama, maksudnya.
"Bukan begitu, Dek," dia memegang lengan Sinta.
"Halah!" Sinta mengibaskan lengannya, berpaling, kembali masuk ke dalam rumah.
Dia menangis sejadi-jadinya. Menangis, meraung, seperti seseorang yang belum pernah merasakan kepedihan sebelumnya. Rasa nyeri melahirkan tiga anak tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit hatinya saat itu. Seakan, langit runtuh menimpanya. Seakan, bumi berhenti berputar pada porosnya.
'Yâ Rabbî, tolong hamba!' Jerit Sinta dalam hati.
Kamal menghampiri Sinta dan ibunya di ruang tamu tempat mereka nazhar dahulu. Ayah Sinta masuk ke dalam kamar. Beliau memang tipikal orang yang jika marah akan mendiamkan orang yang membuat masalah.
Kamal lalu duduk di samping Sinta, menghadap ibu mertuanya.
"Kamu dengarkan dulu, jangan emosi dulu," ujar Kamal menenangkan, mengelus tangan istrinya pelan. Dia bahkan masih bisa tersenyum!
"Halah.. Diam kamu! Pokoknya aku minta khulû!" Sinta melempar keras kacamata minusnya ke lantai, sampai lensanya terlepas dari bingkainya.
"Gini loh.. Jadi keluarganya itu minta aku nikahin dia karena dia kerasukan jin. Terus..."
'Dia? Dia, katamu? Oh, ya! Sekarang bukan hanya ada kamu dan aku, tapi juga dia!'
"Oh, jadi perempuan itu yang dulu kamu ceritakan?? Janda anak tiga itu??" Emosi Sinta semakin menjadi-jadi.
"Kasihan dia, Bu, kerasukan jin, makanya Kamal bantu," imbuh Kamal, membela diri. Kali ini dia berbicara pada ibu mertuanya yang hanya bergeming. Namun dari raut wajahnya, Sinta tahu bahwa ibunya jelas tak suka. Ibunya tahu persis apa yang Sinta rasakan saat ini. Beliau korban perselingkuhan suami pertamanya dulu.
'Bantu? Bantu apa yang kamu maksud, hah? Membantu mengurus anak-anak kita saja tidak mau! Membantu pekerjaan rumah saja tidak mau! Kini sok-sokan bak pahlawan membantu janda kaya!' Batin Sinta berbicara, kesal.
"Jadi, aku mau bantu ruqyah. Tapi karena ruqyah itu harus memegang beberapa titik di bagian tubuh, makanya keluarganya menyuruh aku menikahi dia dulu, biar halâl untuk dipegang," belum selesai menjelaskan, Si Perempuan itu setengah berteriak dari teras rumah,
"Kak, ini ada mobil mau lewat. Mobilnya menghalangi jalan."
'Kak?? Oh, come on!'
Kamal dengan sigap langsung keluar rumah untuk memajukan mobil, agar mobil yang akan lewat itu bisa melaju. Deru mobilnya terdengar menjauhi rumah orang tua Sinta.
Sinta dan ibunya masih sabar menunggu, sedang Hasnâ terus menangis karena dia mengira akan ikut pergi bersama ayah dan kakaknya. Semenit, dua menit, tiga menit. Tak ada tanda-tanda mobil itu kembali mendekat. Ibu Sinta lalu keluar rumah untuk mengecek keadaan. Beberapa saat kemudian beliau masuk kembali ke dalam rumah.
"Gak ada mobilnya, Sinta! Di sekitar sini juga gak ada!"
🌸🌸🌸
Sinta yang masih belum percaya bahwa suaminya yang sangat dia cintai itu menikâhi wanita lain secara diam-diam, masih saja terlalu naif percaya bahwa Kamal mungkin saat ini sedang menunggu Sinta keluar rumah.
Sebaliknya, Sinta justru berharap Kamal mendatanginya lagi untuk menyelesaikan masalah ini, untuk menyelesaikan teka-teki yang selama ini bersarang di otak Sinta. Ya, memang seharusnya Kamal menjelaskan semuanya, bukan? Dia yang seharusnya menyusun puzzle "Drama Susah Dihubungi selama Lima Hari" yang selama ini terserak tak beraturan.
Disambarnya ponselnya. Dicarinya nama suaminya. Diteleponnya dengan cepat.
[Halo?? Di mana kamu??] Tanya Sinta, setelah nada kesekian teleponnya baru diangkat.
[Di jalan, aku menuju pulang. Lebih baik pulang daripada bertengkar. Malas mendengar kamu marah-marah tak karuan begitu ketika aku sedang menjelaskan.]
'What?? Gila!'
[Hah?? Selesaikan dulu masalah kita! Main kabur-kabur aja kamu, seenaknya!]
Tak ada balasan. Jelas Kamal sedang menyetir.
[Aku minta khulû sama kamu! Kembalikan dulu barang-barangku yang sudah dimasukkan ke mobil tadi! Kembalikan Faruq juga! Kamu juga belum ganti uang THR orang tuaku yang pakai uangku dulu! Aku kehabisan uang sekarang!]
[Ya, aku terima khulû kamu. Kamu yang minta kan, dari dulu? Nanti aku tranfer uang ganti THRnya sekalian uang ganti makan yang tadi aku janjikan malam ini kita makan di luar. Barang-barangmu nanti bisa pakai ojol. Faruq biar sama aku aja.]
Sinta kaget. Baru kali ini Kamal menerima khulû dari Sinta, padahal belum pernah sebelumnya. Ah, iya, dia sudah menemukan pengganti Sinta sekarang. Sungguh ironi.
Selama ini Sinta selalu berdoa kepada Illâhi, semoga suaminya menjadi orang yang lebih baik lagi.
'Yâ Allâh, ubahlah dia menjadi orang yang lebih baik, atau gantikanlah dia dengan yang lebih baik.'
Doa Sinta dari berbulan-bulan yang lalu itu semoga segera terkabul.
Bersambung....
#berdasarkankisahnyata
#bukannamasebenarnya
#ctsstory11.11.19.
(Sentuh layar dari bawah ke atas untuk membaca part selanjutnya ⬇️⬇️⬇️)