Tiba-tiba Sinta terbangun seakan ada yang membangunkannya. Pandangannya langsung menyisir kamar yang remang-remang. Kamal tidak ada di kamar. Dilihatnya jam di ponselnya. Sekarang pukul 5 lebih. Dia pun menyalakan internet di ponselnya, dan pesan dari Kamal langsung muncul di layar.
[Dek, aku pergi ke Pasar kulakan.]
Tertulis pukul 4 Kamal mengirimkan pesan.
'Jam 4? Haloo? Untuk apa pergi jam segitu? Itu saja mungkin dia pergi lebih pagi lagi, tapi ngirim pesannya jam 4. Sengaja sekali pergi ketika aku sedang tidur agar tidak dikonfrontasi. Sial!' Sinta membatin kesal.
Bukan kebiasaan Kamal mengabari Sinta sedang di mana, sampai Sinta sendiri yang mengajari jika hendak pergi, maka kabari istri.
[Ke Pasar atau ke Si 'Itu', hah??] Tanya Sinta benar-benar kesal. Dia 90% yakin suaminya pergi ke rumah Si Anis yang jaraknya 16 mil dari rumah mereka.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada telepon masuk dari kakak pertama Sinta, Teh Ida.
[Sinta, suamimu mana?] Tanya Teh Ida kesal.
[Gak tau, Teh, pergi. Katanya sih ke Pasar kulakan, tapi aku gak yakin. Kayaknya balik ke istri keduanya.]
[Ih, gemes aku! Pengen aku nasihati dia via SMS! Kesel banget!]
[Jiah, Teh, gak akan bisa dia mah.. Dinasihati juga gak bakalan mempan, malah nanti balik nyerang.]
[Ya udah atuh kamu perlu kosmetik atau skin care gak untuk mempercantik diri?] Tanya Teh Ida serius.
[Hahaha.. Gak perlu, Teh, aku harusnya memperbanyak ibadah. Mempercantik dirinya dengan jadi shâlihah aja. Hehe. But anyway, thanks..] jawab Sinta. Dia terhibur dengan Teh Ida, Si Sulung Rasa Bungsu.
Telepon pun ditutup. Sinta akhirnya nekat menanyakan keberadaan suaminya pada Si Anis. Nomornya dan nomor Aldi, mantan suaminya telah Sinta simpan.
[Di sana ada suami saya gak?? Oh ya, ada barang-barang saya tertinggal rumahmu. Barangmu juga ada yang tertinggal di rumah ini. Kerudung anakmu dan kaus kakimu. Tadinya mau saya buang ke tempat sampah atau bakar saja, namun tidak jadi.]
Belum ada balasan. Mungkin dia sedang sibuk dengan Si Kamal.
Setelahnya, Sinta mengirimi Aldi pesan yang sama seperti pesan yang dia kirim ke nomor Si Anis, dan kali ini berbalas.
[Maaf, Mbak, saya gak tau apa-apa. Saya dan Anis sudah berpisah, anak pertama dan kedua kami saya yang mengurus. Dia mengurus anak ketiga kami. Mbak yang sabar ya.. Saya pun sama dulu juga diseperti-inikan oleh dia. Saya menyesal dulu mengizinkannya jualan online. Dia jadi mengenal banyak laki-laki dari situ. Walhasil dia meminta cerai pada saya karena sering pergi dengan laki-laki lain naik mobil.]
Balasan dari mantan suami Anis begitu berarti bagi Sinta.
'Ternyata Si Anis memang bukan wanita baik-baik, klop lah dengan dia mengirimi laki-laki asing fotonya tanpa kerudung, padahal dia sendiri bercadar. Pantas saja Kamal mau menikah dengan Si Anis, wong dia janda anak tiga rasa anak satu, alias dia hanya mengurus satu anak saja. Kamal kan tidak suka repot dengan anak-anak. Anak sendiri saja dia tidak mau kerepotan, apalagi anak orang lain,' pikirnya.
Tak lama, ponsel Sinta kembali bergetar. Ada pesan masuk dari nomor yang Sinta namai di ponselnya dengan nama "Pelakor". Ya, siapa lagi kalau bukan Si Anis!
[Iya, ada yang tertinggal. Hati Kamal tertinggal di sini.]
Sinta geram. Dia naik pitam.
[Hahahaha. Lucu! Puas kamu sudah merebut suami orang, hah?? Rumah tangga kami baik-baik saja sebelum kamu datang ke kehidupan kami!]