| Aku ingin pergi tapi kau tak izinkan.
Akhirnya aku ingin belajar agar kau sendiri yang menyuruhku pergi.
Maukah kau mengajarkan? |🌸🌸🌸
Kamal pamit pergi ke rumah istri keduanya setelah mengajak istri pertamanya makan pagi di Warteg.
"Udah jam 8 nih. Kemarin aja aku berangkat dari sana jam 5, sampai sini jam 6. Udah gitu sekarang aku makan dulu sama kamu. Kemarin Si Anis aja gak aku ajak makan," ujar Kamal.
"Ya salah sendiri pas mau ke sini malah kepagian dan gak makan dulu di sana!" Ucap Sinta datar.
Alih-alih berkata, "OMG! Thanks!", Sinta malah berkata demikian. Ah, nampaknya dia sudah bosan menjadi istri yang lembut, penyabar, dan penurut seperti dulu. Mungkin benar kata orang bahwa "Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti." Bukan, ini bukan sedang membenarkan sifat negatif seseorang. Namun lebih ke dampak jika seseorang yang tadinya baik hati diperlakukan semena-mena, ya lama-lama akan berubah jua. Teori ini mungkin tidak berlaku bagi semua orang. Namun tidak bagi Sinta.
"Hari ini aku gak bawa Fâruq dulu ya?" Pintanya pada Sinta sebelum pergi.
"Loh, kenapa? Gak bisa, harus dibawa, kan sudah aturannya," Sinta bersikeras.
Dia sudah terlalu banyak mengalah pada suaminya. Teringat dulu Sinta takut dipenjara karena diancam Kamal, respon Teh Ila hanya tertawa.
"Gertak aja itu mah! Si Kamal tau Sinta gampang ditakut-takuti, makanya dia nggertak. Kebanyakan drama sih!" Ucap Teh Ila geram.
'Kini tak kan ada lagi Sinta yang lemah seperti dulu!' Tekadnya dalam hati.
Dengan terpaksa akhirnya Kamal membawa Fâruq pergi. Beberapa saat kemudian ponsel Sinta bergetar, ada pesan masuk dari Pak Wanto, Direktur Utama di perusahaan tempat Kamal bekerja.
[Mbak Sinta, apa Ustâdz Kamal ada di rumah?]
Hmm, untuk apa beliau menghubungi Kamal pada hari Sabtu seperti ini? Hari ini kan hari libur.
[Tidak ada, Pak. Beliau sedang ke rumah istri keduanya.] Balas Sinta.
Sinta butuh waktu beberapa menit untuk mengirim pesan dengan kalimat tersebut. Dia edit, hapus, lalu ketik ulang. Tadinya dia hanya akan menjawab, "Tidak ada, Pak," namun dia teringat bahwa Pak Wanto adalah salah satu orang yang tidak percaya bahwa Kamal menginginkan poligami.
Ah, Pak Wanto. Bukankah kita bisa memakai topeng agar terlihat baik di depan orang? Topeng yang bisa menutupi aib dan borok. Jangan sok tahu, Pak! Istrinya ini lebih tahu bahwa Kamal sudah lama tak tahan ingin beristri selain Sinta seorang!
Buka topengmu, Kamal! Percuma kau koar-koar tidak mau berpoligami kepada bosmu, namun pada akhirnya kau menikah diam-diam tanpa mengundang Pak Wanto. Padahal beliau ada, sedang i'tikaf di Masjid yang sama saat kau mengucap Ijab Qabul! Lupakah engkau dengan hadîts bahwa menikah itu harus disyiarkan, hah??
Tak ada pesan balasan dari Pak Wanto. Sinta pun tak mengharapkan. Dia hanya ingin Pak Wanto dan istrinya tahu bahwa Kamal sekarang bukan miliknya seorang.
🌸🌸🌸
Sudah waktu zhuhur ketika Sinta mendengar motor Kamal datang. Ah, ada apakah gerangan? Mengapa dia cepat pulang? Dengan sengaja Sinta masih berdiam diri di kamar. Selamat, Kamal! Kini tak ada lagi Sinta yang berhambur menunggumu di ruang depan.
Terdengar Kamal mengucap salam. Dia langsung menuju kamar.
"Loh, kok kamu pulang?" Tanya Sinta keberatan.