"Tok tok tok!" Sinta mengetuk pintu kamar Alfi.
"Alfi, ini aku, Sinta. Tolong buka pintunya sebentar ya.."
Tak lama pintu pun dibuka. Terlihat Alfi masih cemberut sedang mengepak baju-bajunya ke dalam tas besar.
"Alfi mau ke mana?" Tanya Sinta heran. "Aku minta maaf ya, soal Rio. Aku benar-benar gak tau itu dia. Kan aku gak tau wajahnya juga," sesal Sinta.
"Mau pulang ke rumah Mama, Teh, aku gak kuat di sini," jawab Alfi sesegukan.
"Loh, kenapa memangnya?" Tanya Sinta.
Sebenarnya dia tahu Anis selalu menyuruh-nyuruh Alfi segala hal, baik itu memasak nasi, bersih-bersih, mengurus Cia, dll. Mungkin karena itulah, Anis jadi terbiasa menyuruh Kamal seperti menyuruh adik-adiknya. Sebab Anis anak sulung, berbeda dengan Kamal dan Sinta yang keduanya adalah anak bungsu. Tapi tak mungkinlah hanya gara-gara sering disuruh-suruh, Alfi jadi ingin pulang ke rumah Mamanya.
"Teh Anis itu kalau gak ada Teh Sinta ya, mana ada dia ngajak ngobrol aku," jawaban Alfi membuat Sinta keheranan. Selama ini dia melihat hubungan mereka baik-baik saja, seperti hubungan Sinta dan Teh Ila.
"Loh, kok bisa tinggal serumah cuma bertiga tapi gak ngobrol, Fi?" Tanya Sinta heran. "Terus kalian ngapain aja dong, kalau gitu?"
"Ya diem-dieman aja, main hp di kamar masing-masing. Teh Anis sebenarnya gak dekat sama aku, sama Mama juga," jawab Anis. "Teh Anis juga ngomongnya suka kasar ke aku. Ya sekarang mah karena ada Teh Sinta sama Kak Kamal aja jadi gak berani."
Duh! Kok ya bisa samaan seperti Si Kamal? Di depan beda, di belakang beda.
Tiba-tiba pintu kamar Alfi dibuka.
"Fi, ..." ujar Anis. Tak Sinta dengar lagi kalimat yang keluar dari mulut Anis karena Sinta keluar kamar, membiarkan kakak adik itu berbicara dari hati ke hati.
🌸🌸🌸
Sinta, Kamal, dan anak-anaknya sedang di kamar utama.
"Itu Si Alfi sombong banget jadi orang! Lebay banget cuma gara-gara Si Rio pergi gitu doang. Lagian Si Rio juga oon, bukannya masuk aja kek, kan udah kenal. Eh malah kabur lagi," Kamal menahan suaranya agar tak terdengar ke luar kamar.
"Ya mungkin dia ingin lihat kekasihnya. Udah lama gak ketemu, kan?" Jawab Sinta.
"Ya gak usah sampai selebay itu kali.. Udah gitu ya, ih!! Tadi Si Cia bersin ke mana-mana! Jijik banget, tau gak?? Mana mukanya mirip banget lagi sama bapaknya! Ih, kesel aku kalau lihat mukanya! Untung aja nanti kalau udah disapih, bakalan Si Anis kasihin ke bapaknya," Kamal bernapas lega.
Sebenarnya Sinta sudah heran ketika anak pertama dan kedua Anis diurus oleh mantan suaminya, dan sekarang justru Si Cia yang masih dua tahun akan diberikan kepada bapaknya juga. Demi apa dia tidak merawat anak-anaknya sendiri? Demi agar calon suami atau suaminya nyaman bersamanya karena dia janda tanpa membawa anak? Allâhul musta'ân.. Di mana jiwa keibuan Anis? Kalaulah itu Sinta, pasti dia tak kan mau berpisah dengan anak-anaknya sendiri.
"Udah gitu ya, kayaknya itu anak agak-agak deh. Masa dikit-dikit lagi minum, eh tiba-tiba airnya ditumpahin. Dikit-dikit lagi makan, ditumpahin juga. Udah gitu tanpa ekspresi lagi ngelakuinnya. Anak-anak kita gak pernah tuh kayak gitu," ujar Kamal sembari bergidik.
"Kamu jangan seperti itu, dia itu anak kamu juga. Masa kamu mau ibunya aja tapi gak mau sama anaknya juga," imbuh Sinta tak suka.
"Iya sih, Dek. Tapi bapaknya lah yang nafkahin. Masa aku juga? Keenakan nanti bapaknya," ujar Kamal lagi.