Part XXXIV: Snow on the Sahara

1.5K 63 0
                                    

| Cerca aku!
Hina aku!
Aku tak peduli!
Cinta ini telah merasuki
dan merusak diri. |

🌸🌸🌸

Untuk menyudahi semua kegilaan ini, Sinta meminta Kamal untuk datang di akhir pekan. Setelah dipaksa berkali-kali, akhirnya Kamal pun bersedia untuk datang ke rumah mertuanya. Saat Sinta menelepon untuk memastikan, ternyata dia tak sendirian. Ada Om Hakim bersamanya.

Jauh di lubuk hati Sinta terdalam, dia masih sangat kesal kepada Om Hakim. Tak pernah sebelumnya Sinta membuat masalah dengannya, namun mengapa beliau begitu tega menjadi wali hakîm Kamal tanpa memberitahukan Sinta sebelum, sesaat, dan sesudahnya? Sinta seperti dikhianati dua orang yang dia sayangi sekaligus.

[Kok gak bilang-bilang mau ke sini sama Om Hakim?] Tanya Sinta terkaget-kaget saat menanyakan keberadaan Kamal yang ternyata sedang di jalan menuju rumah orang tua Sinta.

[Loh, memangnya kenapa?] Kamal balik bertanya, heran.

Perasaan Sinta tak menentu. Dia merasakan mual yang tak biasa di dalam perutnya. Yang jelas bukan karena dia sedang hamil.

Saat Kamal masih di jalan, Anis mengirimi Sinta beberapa pesan via SMS karena akun WA-nya sudah Sinta blokir. Namun karena Si Anis sedang tak punya pulsa, isi pesannya tak terlihat. Jadi jika Sinta ingin melihat isi pesannya, dia harus membayar pesan yang Si Anis kirimkan. Kemarin sih Sinta lakukan, namun kali ini dia memilih mengabaikan. Too much know will kill you. Begitu, bukan?

Siang menjelang sore, Kamal dan Om Hakim pun tiba saat Ibu Sinta masih di pasar. Tanpa perasaan bersalah, Kamal masih merajuk, memegang tangan Sinta dan membisikkan rayuan mautnya,

"Aku gak mau pisah sama kamu, Dek."

Argh, bullshit! Simpan kata-kata itu setelah kau menghubungi Si Anis!

Sinta hanya diam. Dia berbicara seperlunya, pun kepada Om Hakim. Ini pertama kalinya mereka saling bertemu kembali setelah Kamal punya dua istri.

Akhirnya setelah Ibu Sinta datang, mereka pun bermajlis di ruang tamu tempat Sinta tidur bersama anak-anaknya.

Hanya tangis dan perasaan sesak yang mewarnai tiap kata yang keluar dari mulut Sinta. Ayah Sinta yang tak bisa banyak bicara terhadap orang yang tak dia suka pun buka suara.

'Udah miskin, sombong!' Begitu kata Kamal berkali-kali dalam hati, mencaci keluarga Sinta.

Sedang Om Hakim hanya menasihati Sinta dan Kamal (lebih tepatnya kepada Sinta saja. Haha!) agar tidak bercerai karena anak-anak mereka masih kecil-kecil.

Ah, Om. Di mana engkau saat mereka lahir? Hanya datang, itupun hanya sekali tanpa membawa apa-apa, bukan? Dari mulai hamil sampai bertahun-tahun tak pernah peduli akan keadaan anak-anak Sinta, sekarang sok-sokan angkat bicara atas nama peduli terhadap mereka. Huh!

Sampai jam lima sore, musyawarah yang tak mencapai mufakat dan membawa hasil pun terpaksa harus diakhiri setelah perdebatan dan cekcok mulut yang terjadi antara Kamal dan siapa lagi? Hmm.

Kamal pun pergi dengan kesal. Dia berharap Sinta dan anak-anak mereka ikut pulang membersamainya.

Faruq sedih karena ayahnya yang sudah lama tak dia temui datang baru sebentar, lalu kembali pulang. Dia lalu tantrum.

Sejujurnya, Sinta pun ikut sedih. Sedihnya melebihi tantrum-nya Faruq. Walaupun ini hanya hibernasi, untuk membuat efek jera akan kata perpisahan yang teramat mudah diucapkan, namun tetap saja. Mereka tak akan pernah tahu akan terjadi apa di esok hari.

PoligamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang