Part XXX: The Drama King

1.2K 50 0
                                    

| Apakah laki-laki tercipta hanya untuk menyakiti wanita?
Oh, di manakah harus mencari laki-laki baik hati?
Yang jika sudah tak suka dengan wanitanya, tidak mencampakkannya.
Yang jika membenci wanitanya, tidak berkata kasar padanya. |

🌸🌸🌸

Sinta heran mengapa Kamal tidak meminta nomor Anis kepadanya. Bukankah nomornya sudah Kamal hapus? Atau jangan-jangan, Kamal diam-diam masih menyimpannya? Ditepisnya pikiran buruk itu. Ah, biarkan sajalah. Toh mereka masih suami-istri, bukan?

Tak ada kabar dari Kamal tentang keputusannya sampai siang menjelang. Biasanya dia pulang saat istirahat untuk makan siang. Namun tidak hari itu. Dia seakan tak ingin diganggu saat sedang chatting dengan kekasih hatinya.

Sinta tak begitu peduli dengan keputusan Kamal nanti. Kalaupun dia memilih Anis ketimbang Sinta, ya sudah. Toh kesetiannya sudah teruji sejak dia berani menikahi wanita lain secara diam-diam. Lagi pula untuk apa masih bertahan? Sayap Sinta sudah patah sebelah, tak mungkin kembali seperti sedia kala. Dari dulu memang Sinta sudah tak suka dengan sikap kasar Kamal, namun dia tetap bertahan atas nama cinta. Sekarang cintanya sudah mati, mau bagaimana lagi? Makan tuh cinta, Sinta!

Sore tiba. Kamal pulang dari Kantor. Sinta membaca chatting Kamal dengan Si Anis. Secara garis beras Kamal menyalahkan Anis yang tak bisa menjaga keutuhan cinta Kamal. Tabiatnya memang selalu menyalahkan orang lain atau menimpakan kesalahannya kepada orang lain karena dia anti disalahkan, bahkan untuk kesalahannya sendiri. Uh.. Benar-benar sifat lelaki sejati..

[Cinta tak harus memiliki.] Pesan Kamal kepada Sang Pujaan Hati. Hoek! Dasar tukang gombal!

[Salah. Cinta itu harus diperjuangkan.] Balas Anis. Klop sudah, sama-sama tukang gombal. Memang pasangan sejati!

[Tapi Sinta itu cerdas.. Dia sudah curiga dari lama bahwa kamu pura-pura.] Balas Kamal membela diri. Entahlah. Apa dia mencoba mengkambing-hitamkan Sinta dalam perceraiannya ini?

[Salah! Harusnya kamu tau istri yang mana yang harusnya kamu ceraikan!] Hmm.. Ada yang mau berada di posisi istri pertama nih. Hahaha!

Ingin rasanya Sinta membalas perkataan Anis itu, namun Kamal melarangnya. Kasihan, katanya. Toh, Si Anis akan dia ceraikan jua.

Sampai malam tiba, Si Anis menelepon Kamal. Sinta menyuruh menyalakan loud speaker ponselnya. Allâhu Rabbî, isinya caci maki. Yang selama ini Sinta tahu Anis selalu berkata lembut, kali ini jauh berbeda. Dia murka sekali. Anehnya, Kamal sama sekali diam seribu bahasa, hanya tertawa saja. Ah! Sinta kesal dibuatnya!

[Kamu itu bodoh! Gak lulus SD ya?] Anis menunjuk muka sendiri.

[Hehe. Aku gak lulus SD? Aku atau kamu?] Canda Kamal, sama sekali tak tersinggung. Argh! Jika saja Sinta yang berkata demikian, pasti sudah dia hardik habis-habisan.

Kepada Sinta, Kamal beralasan mengapa dia tidak membalas perkataan buruk Si Anis. Adalah karena:

1. Kamal khawatir Si Anis merekam pembicaraan mereka, karena dia suka menggadu domba. Pasca ditalaq saat hâidh dulu, dia menggadukan perbuatan Kamal kepada Ustâdz Salim, guru Kamal.

2. Kamal ingin membangun suatu 'jalinan' pertemanan dengan Si Anis. Karena menurut Kamal, walaupun mereka sudah bercerai, tak apalah masih berteman. Hahaha. Konyol, bukan?

Telepon terputus, mereka berlanjut chatting. Lagi. Sedang Sinta menyuruh untuk menyudahi, karena sudah pukul 23:00 lebih.

"Jadi keputusanmu apa? Cepat putuskan! Kalau kamu masih mau sama dia, gak apa-apa, aku rela diceraikan!" Sinta kesal bukan kepalang. Bukan menggertak, dia benar-benar jengah dengan Si Kamal.

PoligamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang