Part XXXVI: The Ending

6.3K 115 10
                                    

| Kau tanya padaku,
ke mana aku yang dulu?
Jawabku, dia sudah mati.
Bukankah kau ingin aku yang seperti ini?

Kau tanya padaku,
ke mana harus mencari?
Jawabku, mengapa dulu kau pergi?
Dan kini kau sesali. |

🌸🌸🌸

Di tengah aktifitas mengepak barang-barangnya, Sinta menyempatkan diri untuk mengirim pesan singkat ke Pak Cecep agar dia tak mengharapkan Sinta lagi. Sudah beberapa kali Pak Cecep ingin berkunjung ke rumah orang tua Sinta. Hmm. Untuk apa, coba?

[Insyâ Allâh hari ini Mas Kamal mau menjemput saya, Pak. Terima kasih sudah banyak membantu saya selama ini.]

[Mâsyâ Allâh.. Sudah baikan sekarang? Alhamdulillâh kalau begitu, Sinta, saya ikut senang. Padahal tadinya setelah anak Sinta lahir, saya dan istri mau silaturrahim ke rumah orang tua Sinta. Tapi ya sudah kalau sudah balikan, walhamdulillâh.]

Menjelang 'ashr, Kamal dan Om Hakim datang menjemput. Sinta sudah mengepak semua barang-barangnya dan sudah pamit kepada kedua orang tuanya. Entah sedih atau senang yang dirasa mereka, namun perasaan Sinta kini lega. Ya, setidaknya untuk saat ini.

Teringat kisah teman Sinta, Mbak Riska, yang desas-desus dari teman-teman suaminya memberitakan bahwa suami Mbak Riska berselingkuh sampai menghamili perempuan selingkuhannya. Sinta geram, sedih, dan hancur saat berita tersebut sampai ke telinganya. Mbak Riska memang bukan teman dekat Sinta, namun tetap saja mereka saling mengenal dan lumayan sering berinteraksi, serta suami mereka pun saling berteman. Sinta sedang hamil Faqîh saat mengetahui berita tersebut. Responnya pertama kali adalah menginginkan perceraian bagi keduanya.

"Kalau aku punya suami kayak gitu mending cerai saja!" Ujar Sinta emosional.

"Itu kamu! Terus anak-anaknya yang empat itu mau di-ke-manakan? Dinafkahi siapa? Istrinya juga gimana?" Tanya Kamal rasional.

"Kan Mbak Riska dagang baju, dll. Insyâ Allâh bisa lah menghidupi dirinya sendiri. Anak-anaknya ya ditanggung bapaknya lah! Kan bapaknya wajib menafkahi!" Terang Sinta.

"Gak semudah itu main cerai, cerai saja! Kasihan anak-anaknya jadi korban. Mereka juga pasti butuh sosok ayah dalam hidupnya," Kamal menjelaskan peliknya urusan perceraian.

"Ah, pokoknya aku mah mau cerai kalau punya suami kayak gitu! Titik gak pakai koma!" Dengus Sinta tak mau kalah.

Namun, itu dulu.. Sekarang saat rumah tangganya di ambang kehancuran dan perpisahan, Sinta yang bermudah-mudahan mengucap kata khulû saat perilaku Kamal tak sesuai dengan yang Sinta harapkan kini akan beribu-ribu kali menimbang apakah memang mereka harus bercerai? Sekarang dia jadi lebih bijak dengan tidak serta merta menjadikan cerai sebagai penyelesaian.

Cambuk hatinya saat ini adalah: "Jika orang lain bercerai atas saran kita, maukah kita bertanggung jawab atasnya? Meringankan bebannya dengan membantunya mencarikan pekerjaan atau memberikan tunjangan sebelum dia mendapat pekerjaaan? Maukah? Mampukah? Jika dirasa tak mampu bahkan tak mau, berhentilah memberi saran untuk bercerai! Doakan saja dia agar dimudahkan segala urusannya dan menyelesaikan permasalahannya."

Dua bulan di rumah orang tua sudah lebih dari cukup memberi Sinta banyak pelajaran berharga tentang perceraian dan perpisahan, jika kalimat khulû diterima, menyadari keluarganya yang tak 100% ada untuknya, anak-anaknya yang tak bisa berpisah dari kedua orang tuanya, juga perasaan Sinta yang selalu dibayangi keluarganya sendiri akan mengatakan, "Urusi masalahmu sendiri! Kami juga sudah banyak urusan dan masalah!" Ah, sedihnya.

Pelajaran kelima yang dapat diambil: Kalau tak mau 'mati konyol' setelah perceraian, jangan meminta cerai tanpa persiapan matang!

🌸🌸🌸

PoligamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang