Pagi menjelang, Kamal masih di kontrakan. Dia tidak menuruti kemauan Anis--atau kemauannya sendiri--untuk bermalam di rumah istri keduanya itu.
Kamal mengantar Sinta membeli sayuran dengan langkah gontai. Paginya tak seceria biasanya.
'Ah, dasar bucin!' Gerutu Sinta dalam hati.
Mereka pun sarapan. Nafsu makan Kamal kembali hilang. Setelah selesai makan, dia pergi mandi. Pagi ini dia akan masuk Kantor lagi. Urusannya dengan Anis masih menggantung. Dua hari yang lalu dia terlihat mantap untuk menceraikan Anis, malah sampai berkata tidak mencintainya lagi. Nyatanya sekarang? Dia masih tidak bisa hidup tanpa istri keduanya itu. Dia seperti mayat hidup saja!
Setelah Kamal berangkat kerja, Sinta mendapat pesan dari ibunya.
[Sinta, Neng Geulis.]
Sinta kaget. Tumben ibunya memujinya. Hmm... Ini benar ibunya kan?
[Ini Ibu kan?]
Tak lama pesannya berbalas.
[Ya iya atuh, siapa lagi? Hehe.] Cara mengetiknya pun sama dengan cara ketikan Ibu Sinta.
[Oh... Tumben Ibu muji, apalagi pake manggil "Geulis" segala, Bu. Hehe.] Balas Sinta dengan senyum tersungging di bibir.
[Iya Ibu kasihan sama kamu, Sinta. Segitu cemburuan tapi mau dipoligami. Ibu meni heran pisan.]
[Iya mau gimana lagi, Bu, qaddarallâh.] Balas Sinta sekenanya.
[Di sini pada ngomongin kamu... Kata orang-orang, keterlaluan Si Kamal, setega itu sama kamu. Kata tantemu juga kamu masih muda, cantik pula. Insyâ Allâh bisa dapat yang lebih baik dari Si Kamal juga. Makanya jangan takut!] Ibu Sinta menyemangati.
[Hehe. Iya, Bu, insyâ Allâh. Makasih ya, Bu, udah nyemangati Sinta.]
[Kemarin-kemarin Kamal ngomong ke Ibu via WA, katanya kamu sama Si Anis deket ya? Kayak kakak-adik? Katanya, "Ibu jangan khawatir, Sinta udah gak sedih lagi."]
[Jiaah... Ya emang Sinta mah kan cepet akrab sama orang, Bu. Lagi pula Si Anis saat itu emang baik sama Sinta. Jadi, untuk alasan apa Sinta gak baik sama dia, kan?]
Ada-ada saja Kamal ini!
Setelah Sinta mengakhiri chatting dengan ibunya, dia mengecek nomor Anis di aplikasi WhatsApp. Terakhir dia online adalah kemarin sore, saat dia mengirimi Kamal pesan agar menemaninya di rumah.
'Hah? Dari kemarin sore sampai pagi ini dia belum online juga? Ada apa ya?'
Tiba-tiba rasa khawatir menyergap Sinta. Apakah sesuatu terjadi pada Anis? Sinta berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. Namun semakin tidak dipikirkan, justru pikiran buruk itu semakin menyerang.
Benarkah kekhawatiran keluarganya dulu jika Anis bunuh diri itu nyata? Tapi bukankah dulu Sinta sudah pernah berhasil melalui orang macam ini? Ketika dulu teman Sinta di Boarding School berakting akan bunuh diri sambil memegang pecahan kaca jendela. Sinta dengan yakin bahwa Nia, temannya itu hanya mengertak semua orang demi sesuap perhatian semu. Alih-alih melarang, Sinta malah menantang Nia untuk melakukan aksinya. Padahal dalam hati terdalam, Sinta juga mengkhawatirkan Nia akan melakukan perbuatan terlarang itu. Teringat perkataannya kepada Nia dulu,
"Kalau kamu 'cuma' ngiris telapak tangan, itu gak akan membuat kamu meninggal. Yang bisa menyebabkan seseorang meninggal itu kalau terputusnya arteri, yang mana ada di pergelangan tanganmu!" Tantang Sinta tak gentar kepada Nia yang seperti akan mengiris telapak tangannya 'saja'.
Duh, Sinta, 'gambling' itu namanya!
Dia adalah satu-satunya orang yang percaya Nia hanya berakting, tak benar-benar akan melakukan bunuh diri. Entah mengapa Sinta selalu bersikap skeptis, tak mudah percaya pada orang-orang yang hidupnya penuh drama.