Bab 2 Menemukan Editor Baru

72 6 5
                                    

Selepas kepergian Mbak Sari, Anita memutuskan untuk mencari editor baru untuk meringankan beban pekerjaannya di percetakan. Ia juga sudah berpesan pada para karyawan yang lain, siapa tahu mereka mempunyai saudara atau teman yang bisa memenuhi kriteria sebagai seorang editor.

Namun, sudah hampir dua minggu berlalu, tak jua ada seorang pun yang mengajukan diri melamar atau minimal mempunyai kandidat sesuai kriteria yang Anita cari. Ia juga sudah meminta bantuan pada Raka, siapa tahu ada saudara atau teman dari karyawannya yang siap menjadi editor sesuai dengan kriteria yang dicarinya.

"Ini ada, An. Seorang teman dari salah satu karyawanku. Tapi dia laki-laki." Raka memberi informasi beberapa hari yang lalu melalui sambungan telepon.

"Yah ... aku cari yang cewek saja, Ka. Kalau laki-laki sepertinya aku kurang begitu nyaman. Karena nantinya, saat kerja akan sering berinteraksi denganku."

"Oh ..., ya udah, dech. Nanti kalau ada info lagi aku kabari." Raka mengakhiri panggilannya.

Akan tetapi, sampai hampir satu bulan, ia belum juga mendapatkan seorang editor. Desain-desain yang harus masuk deadline semakin banyak. Anita hampir setiap hari harus lembur sampai dini hari, demi mengerjakan desain yang harus masuk jadwal cetak. Kesehatannya pun mulai menurun. Manajemen percetakan mulai amburadul. Anita mulai stress dibuatnya.

Akhirnya, ia memutuskan untuk memasang iklan di surat kabar untuk mencari editor. Untuk sementara, dirinya memutuskan berhenti menerima orderan, dan hanya mengerjakan tumpukan orderan yang sudah masuk, sampai nanti mendapatkan seorang editor baru.

***

Sudah tiga hari ini Anita mewawancarai beberapa orang yang datang melamar sebagai editor. Ternyata, hal ini juga lumayan menyita waktunya. Waktu yang seharusnya bisa ia pakai untuk mengejar deadline menyelesaikan desain, harus dibagi untuk melakukan wawancara.

Tapi sepertinya, dari sekian banyak orang yang sudah menjalani tes dan wawancara beberapa hari ini, belum satu pun dari mereka masuk kriteria yang ia butuhkan.

Namun, itulah yang saat ini harus Anita jalani. Dia seringkali mengeluh pada Raka. Tak jarang, Raka mengirimkan makanan ke kantor kekasihnya, karena dia tahu Anita sering kali melewatkan waktu makan disebabkan berbagai pekerjaan yang harus ia selesaikan.

"Kamu harus makan teratur, An. Jangan lupa obatnya diminum." Raka menasehati lewat telepon beberapa menit yang lalu, setelah dia mengirimkan makanan lewat jasa delivery order.

"Iya, Ka. Ini juga lagi makan kok," jawab Anita sambil mengunyah makanan yang memang sedang berada dihadapannya. Raka terdengar lega dan mengakhiri panggilan.

"Maaf, Bu Anita. Itu di luar ada yang nyari. Sepertinya mau melamar kerja." Tiba-tiba saja, Mbak Nuri, salah satu karyawan Anita memasuki ruangan. Ia berkata sembari berdiri di depan pintu.

"Oh iya, Mbak. Tolong suruh masuk saja, ya!" ujar Anita dari belakang meja kerja.

Tak berapa lama, tampak seseorang memasuki ruang kerja perempuan anggun itu. Sosok semampai berambut cepak model Harajuku, berjaket Hoody longgar dengan kacamata menempel di hidung kecilnya yang lancip, sudah berdiri menghadap ke arah Anita.

Sepertinya, ia seorang pemuda. Tetapi senyumannya semanis senyuman seorang gadis. Usianya berkisar di awal dua puluhan. Anita sedikit mengernyitkan dahi dan mengangkat kacamatanya yang agak melorot.

"Selamat siang, Bu," sapa Sang Pelamar dengan sopan.

"Iya, selamat siang. Anda mau melamar?" tanya Anita kemudian.

"Iya Bu," jawab Sang Pelamar dengan tenang.

"Eemm ... melamar sebagai editor?" tanya Anita lagi.

"Iya."

Anita heran, bagaimana mungkin dia masih nekat mau melamar sebagai editor, padahal sudah jelas-jelas tertulis di iklan bahwa yang dicari adalah editor perempuan.

"Maaf, tapi saya mencari seorang editor perempuan," jelas Anita.

"Ehmm ... saya seorang cewek Bu," ujar Sang Pelamar sambil tersenyum.

"Oh, begitu ...!" Anita masih ternganga keheranan, sambil mengamati orang dihadapannya secara seksama berulang-ulang.

"Jadi ... kamu seorang perempuan, ya. Maaf, kalau saya sudah salah sangka. Aku mengira kamu seorang laki-laki." Anita berkata masih sambil menatap sosok bertubuh kurus dihadapannya.

Sang Pelamar hanya tersenyum.

"Silakan duduk. Oh ya, nama kamu siapa?"

"Diandra, Bu. Biasa dipanggil Andra." Dia menjawab sambil bergerak menempati kursi di depan meja kerja Anita.

"Ok, Andra. Apa kamu punya latar belakang pendidikan desain, atau mungkin punya pengalaman kerja bidang itu?" Anita memulai sesi wawancaranya.

"Saya sekolah di jurusan Multimedia. Saya pernah bekerja, tapi di bidang pemasaran."

"Bisa lihat berkas-berkas kamu?"
Andra kemudian mengulurkan sebuah amplop coklat besar yang berisi surat lamaran dan berkas-berkas yang diminta Anita sebagai persyaratan melamar. Ia membukanya dan membaca secara seksama satu-persatu lembaran-lembaran dalam amplop tersebut.

"Ok, Andra. Di sini tertulis bahwa kamu bisa mengoperasikan software yang aku perlukan. Dan aku ingin kamu menunjukannya sekarang. Tolong kamu lanjutkan desain ini. Waktunya tiga puluh menit dari sekarang." Anita menggeser layar laptop ke hadapan Andra.

Andra pun mengangguk dan segera mengerjakan sesuai instruksi. Sambil menunggu, Anita kembali memeriksa surat lamaran dan berkas-berkas milik Andra sekali lagi. Dari biodatanya, dia anak pertama dari dua bersaudara dan ayah ibunya bercerai.

Entah mengapa, banyak sekali anak-anak yang kedua orangtuanya berpisah akhir-akhir ini. Anita selalu merasa bersimpati terhadap mereka. Dirinya tidak bisa membayangkan, mereka tumbuh tanpa kehadiran kedua orangtua yang utuh.

Anita sangat merasa kehilangan sepeninggal Ayahnya, walaupun saat itu ada Ibu yang masih sehat mendampingi. Namun, rasa sedih dan kehilangan tetap menguasai hatinya hingga berbulan-bulan. Dirinya yang sudah menjadi wanita dewasa saja,  sangat merasa rapuh saat itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana anak-anak remaja seperti Andra, bisa kuat menjalani hidupnya tanpa kasih sayang utuh dari kedua orangtua.

Tak terasa, dua puluh menit telah berlalu. Andra memberi isyarat bahwa dia sudah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan padanya. Anita lalu menggeser laptop dan menghadapkan layar padanya.

Sekilas saja, ia bisa melihat hasil desain Andra yang sempurna. Baru kali ini ia langsung puas dengan hasil desain seseorang dalam waktu singkat. Desainnya halus, pencampuran warnanya menarik, bahkan lebih bagus dari desain Mbak Sari, editor Anita sebelumnya.
Ia pun tersenyum puas.

"Wow, aku suka dengan hasil desainmu!" puji Anita. Andra hanya membalas dengan seulas senyuman.

"Selamat, kamu bisa diterima bekerja di sini. Tapi aku harus menjelaskan beberapa hal mengenai gaji, jam kerja dan peraturan-peraturan yang harus kamu taati selama bekerja. Kalau kamu setuju dengan semuanya, kamu bisa mulai masuk kerja besok." Anita menjelaskan panjang lebar, lalu menyodorkan beberapa lembar kertas, yang berisi peraturan-peraturan perusahaan dan hak-hak karyawan.

Andra membacanya dengan seksama untuk beberapa saat.

"Baik Bu, saya setuju dengan semua yang tertulis di sini," ujarnya, sambil menyodorkan kembali lembaran kertas yang dipegangnya pada Anita.

"Ok. Selamat bergabung. Besok mulai kerja jam delapan pagi." Anita berucap sambil mengulurkan tangan mengajak Andra bersalaman.

Sang editor baru, menjabat tangan Anita seraya tersenyum. Sesudahnya, dia segera memohon pamit. Anita masih mengamatinya keluar ruangan, sampai sosoknya tak terlihat lagi,  terhalang dinding.

Anita mendesah pelan, "Ah ..., lega rasanya sudah dapat editor dengan kemampuan yang memuaskan. Walaupun berpenampilan agak aneh, menyerupai laki-laki."

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang