Bab 9 Pembicaraan dari Hati ke Hati

28 2 0
                                    

Suara adzan isya' baru saja terdengar dari pengeras suara masjid, saat Andra datang dan mengetuk pintu rumah Anita.

Anita buru-buru meletakkan ponsel dan mengakhiri aktivitas berselancar di dunia maya. Dengan segera, ia bergegas ke pintu lalu membukanya perlahan. Terlihat Andra sudah berdiri di sana. Matanya tampak merah dan agak bengkak.

'Pastilah ia tadi sudah banyak menangis karena kepergian Bu Dhe-nya,' gumam Anita dalam hati.

Ia pun segera bisa merasakan duka yang begitu mendalam, sedang dirasakan oleh Andra, begitu melihat seraut wajah dengan kacamata itu.
Anita sudah mengalami kehilangan kedua orang tua, dan duka itu masih tersisa sampai sekarang. Rasa kehilangan dan kerinduan, yang acap kali menyapa hingga kini, seringkali belum bisa ia abaikan.

Entahlah, mungkin seperti itu juga yang sedang dirasakan oleh Andra saat ini. Atau bahkan lebih. Karena dari yang Anita tahu, gadis berkacamata itu tidak punya teman atau saudara dekat selain Celin, pasangan lesbiannya itu.
Dan menurutnya, Celin terlalu muda untuk bisa mengerti semua rasa duka, kesedihan dan kehilangan yang sedang dirasakan oleh Andra.

Ah ... dirinya jadi semakin bersimpati pada gadis muda itu, atas semua kesedihan dan luka yang selalu berusaha disembunyikannya.

Anita mempersilahkan Andra untuk masuk dan duduk di sofa yang ada di ruang tamu. Bu Siti segera menghidangkan secangkir teh hangat dan makanan kecil, beberapa menit setelah Andra duduk.

"Minum dulu tehnya, Ndra," kata Anita.

"Iya, Bu. Terima kasih," sahut Andra sambil meneguk teh hangat dari cangkirnya.

"Ini flashdisk-nya, Bu. Silakan kalau mau dicek hasil desainnya," ujar Andra sambil mengulurkan flasdisk ke atas meja.

"Ok." Anita membiarkan flashdisk tergeletak di atas meja.

Dia lebih tertarik untuk mengajak Andra berbincang saat ini. Karena menurutnya, gadis itu sedang memerlukan seseorang untuk mengurangi sedikit kedukaannya.

"Maaf, kalau aku tadi menelepon dan mengganggu proses pemakaman Bu Dhe kamu, Ndra," ucap Anita kemudian.

"Tidak apa-apa, Bu. Kebetulan, tadi proses pemakamannya sudah selesai." Andra menjawab dengan wajah setengah menunduk. Keceriaan yang biasanya menghiasi wajah, kini lenyap sudah. Hanya gurat kesedihan yang tergambar di sana.

"Ndra. Aku mengerti apa yang kamu rasakan saat ini. Kehilangan orang yang sangat kita sayangi, bukanlah hal yang mudah. Aku juga pernah merasakannya, Ndra." Anita berkata pelan sambil mengelus pundak editor muda itu.

Andra tak bereaksi. Hanya bulir bening yang tiba-tiba meleleh membasahi pipinya. Tapi tangannya segera bergerak, lalu buru-buru mengusapnya. Entah kenapa, menurut Anita, Andra tidak suka menunjukkan air matanya pada orang lain.

"Aku juga telah kehilangan kedua orang tua yang sangat aku sayangi, Ndra. Sedih sekali waktu itu. Apalagi, saat ibuku meninggal satu tahun yang lalu. Aku seperti kehilangan pegangan hidup. Karena itulah, aku sangat memahami kesedihanmu saat ini. Mungkin, kau butuh teman untuk bercerita, aku akan siap menjadi temanmu," lanjutnya.

Andra hanya mengangguk tanpa melihat ke arah Anita. Pandangannya hanya tertunduk, menatap meja yang ada di hadapan mereka.

"Kau pasti sangat dekat dengan Bu Dhe kamu," kata Anita lagi.

"Iya," jawab gadis muda itu, singkat.

"Mungkin sebaiknya, besok kau tidak usah masuk kerja dulu. Sepertinya, kau masih butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar Anita.

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang