Bab 15 Saat Bersama

16 1 2
                                    

PoV Anita

Aku sudah berhasil membawa Andra konseling secara teratur bersama Ratna. Aku lihat, gadis muda itu menjadi lebih tenang akhir-akhir ini.

Senyumnya lebih sering terkembang setiap hari. Kini, dia terlihat lebih ceria dan jarang murung. Sepertinya, semangat hidupnya sedikit demi sedikit bisa kembali, setelah sempat terpuruk sebulan yang lalu.

“Bu, hari ini ada jadwal konseling bersama Bu Ratna,” katanya siang itu, saat menyerahkan hasil desainnya ke ruanganku.

“Ok. Aku akan menemanimu seperti biasa,” jawabku, sambil memandang sekilas ke arahnya.

Dia berdiri di depan meja kerjaku,  sambil mengembangkan senyuman.

Cantik.

Menurutku, inilah kali pertama aku melihat kecantikan terpancar dari wajah Andra, di balik penampilannya yang mirip dengan laki-laki. Dia hampir berbalik untuk melangkah meninggalkan ruanganku, sebelum kata-kataku akhirnya berhasil menghentikan langkah kakinya.

“Ndra. Entah kenapa, hari ini kamu terlihat cantik,” ucapku secara spontan.

Dia menghentikan langkah dan berbalik menatapku dengan senyuman yang tiba-tiba lenyap. Di luar dugaan, ternyata Andra tampak tidak terlalu suka dengan pujian yang aku lontarkan. Gadis itu hanya terdiam, sambil memandangku, kemudian segera berlalu meninggalkan ruangan.

***

Saat ini, kami sudah duduk di dalam mobil menuju kediaman Ratna.

“Ndra, bagaimana menurutmu tentang Ratna? Apa kamu merasa nyaman berkonsultasi dengannya?” tanyaku membuka obrolan.

“Bu Ratna orang yang lembut dan sabar. Pada awalnya, saya merasa canggung berbicara dengannya. Tapi lambat-laun, saya mulai merasa nyaman bercerita dengannya.” Andra menjawab sambil memandang sekilas ke arahku.

“Syukurlah, kalau begitu,” kataku penuh kelegaan.

‘Ya … , Ratna memang seorang yang kompeten di bidangnya, bisikku dalam hati.

“Aku sangat berharap, kamu bisa menjadi lebih baik ke depannya, Ndra. Karena jalanmu masih panjang. Banyak hal baik, yang bisa kau capai di masa depan. Karena itu, secara perlahan-lahan, aku akan berusaha membantumu membuang segala hal negatif, yang pernah membuatmu trauma. Agar tidak lagi mejadi batu sandunganmu, untuk meraih kehidupan yang lebih baik di masa depan.” Aku berbicara masih sambil memandang ke arah jalanan yang tidak terlalu ramai malam ini.

“Iya, Bu. Saya sangat berterima kasih atas segala kebaikan dan bantuan yang ibu berikan untuk saya.” Dia terdiam sejenak.

“Saya tidak akan mungkin bisa membalas semua budi baik Ibu,” lanjut Andra.

“Aku melakukan semuanya dengan ikhlas, Ndra. Kamu tidak perlu merasa berhutang budi padaku. Aku akan sangat merasa senang, kalau kamu bisa menjadi orang yang lebih baik. Mungkin karena itulah, Tuhan mempertemukan kita.” Kali ini, aku memandang Andra sesaat.

Dia hanya terdiam, sambil menatap lurus ke jalanan dari balik kaca mobil. Lampu-lampu jalan menyorotkan cahaya berpendar, ke wajah tirus gadis muda itu. Aku tidak tahu, entah apa yang sedang dipikirkannya kali ini, sebelum akhirnya dia membuka suara.

“Saya janji, Bu. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan keinginan Bu Anita. Saya akan berusaha jadi manusia yang lebih baik.”

Aku tersenyum, sambil berpaling ke arahnya. Dia balas menatapku dan menyunggingkan senyuman. Aku bisa merasakan, sebuah semangat tersirat di bola matanya. Itu membuatku semakin yakin, bahwa Andra bisa sembuh dan hidup sebagai wanita normal suatu saat nanti.

Mobilku berbelok dan sudah memasuki halaman rumah Ratna sekarang. Aku dan Andra segera keluar dari mobil, lalu melangkah ke arah pintu masuk kediaman Ratna.

Sekejap, aku meraih lengan Andra,  dan menggandengnya, sambil kami berjalan beriringan bersama.

Andra tampak sedikit terkejut untuk beberapa saat. Tapi aku hanya tersenyum ke arahnya,  sambil tetap berjalan sembari bergandengan tangan. Seolah-olah, tidak ada yang aneh dengan sikapku.

Memang, menurutku ini bukanlah hal yang aneh, dua orang perempuan berjalan bersama sambil bergandengan.

Aku sendiri juga sempat berpikir sejenak, kenapa hal itu membuat Andra jadi terkejut. Mungkin, dia merasa sikapku agak berlebihan, karena seorang atasan berjalan bergandengan dengan akrab bersama karyawannya.

Ah … , entahlah. Aku tidak begitu peduli dengan apa yang dipikirkan Andra atau orang lain. Karena aku sudah menganggapnya sebagai adikku, apalagi saat sedang di luar jam kerja seperti saat ini.

“Hai, An. Mari masuk.” Ratna sudah berdiri di depan pintu rumah yang terbuka, sambil tersenyum menyambut kami.

Aku melepaskan lengan Andra yang aku gandeng, lalu segera mengulurkan tangan untuk menyalami Ratna.

Setelah mengobrol beberapa saat, dia mengajak Andra untuk masuk ke ruangannya dan mulai konseling. Seperti biasa, aku menunggunya di ruang tamu sambil sibuk membuka aplikasi sosial media atau bertelepon dengan Raka untuk menghilangkan kebosanan.

“An, apa kamu ada waktu, besok?” Tak lama kemudian, aku dan Raka sudah larut dalam obrolan melalui gawai kami masing-masing.

“Tentu saja, Raka. Aku akan selalu meluangkan waktu untuk kamu.”

“Ah … , kau ini. Aku merasa, akhir-akhir ini waktu kita banyak berkurang. Kau lebih sibuk dengan Andra dari pada bersamaku,” protes Raka.

Aku tersenyum. Tapi tentu saja, Raka tidak bisa melihatnya.

“Sebenarnya, kamu itu pacaran sama aku atau sama Andra sih, An.” Raka kembali protes.

“Hmmm … , sepertinya … , ada yang cemburu ya.” Aku berusaha menggoda Raka.

“Ah … , Anita. Ya nggak gitu juga, kali. Masa iya, aku cemburu sama Andra. Wajar kan, kalau aku protes. Aku kan calon suami kamu, An. Dan seminggu lagi, acara pertunangan kita. Aku harap kamu tidak melupakan itu.”

“Raka … , tentu saja aku ingat. Baiklah … , besok kau bisa datang ke kantorku. Kita bicarakan masalah pertunangan kita yang kurang satu minggu. Udah dong, jangan ngambek ya,” rayuku.

“Apaan, sih! Emang siapa yang ngambek? Aku nggak ngambek, kok!” Raka berusaha mengelak. Aku kembali tersenyum, sambil membayangkan wajah tampan Raka yang sedang merajuk.

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang