Andra melangkah gontai memasuki kamar kos-nya. Lalu duduk sambil menyulut sebatang rokok yang terselip di bibirnya. Perlahan, dihisapnya dalam-dalam, seraya memejamkan mata yang sejak tadi menyimpan air bening yang tertahan.
Ia menarik napas panjang, mencoba menepis sebuah rasa sakit di lubuk hati. Sekuat tenaga, ia berusaha melawannya. Menolak suatu rasa yang tak biasa, yang seharusnya tidak perlu hadir. Karena dia tahu, tak mungkin untuknya mengungkap rasa, pada sosok yang selama ini sangat dihormatinya.
Namun, semakin ia lawan, semakin pula ia merasa gundah dan sakit. Saat ini, ingin sekali ia menikmati segelas minuman dari botol pipih, yang beberapa bulan belakangan, ia coba jauhi. Sejak ia sakit beberapa bulan yang lalu, ia telah berusaha tidak menyentuh alkohol lagi.
Akhirnya, dirinya pun menyerah juga. Pertahanannya runtuh. Ia perlu alkohol, untuk membantu melupakan perasaan kalut yang kini tengah dirasakannya.
Perempuan muda itu berdiri, lalu membuka laci lemari. Tak lama, sebuah botol minuman sudah berada di tangan. Ia menuang cairan berwarna kecoklatan itu, di sebuah gelas kecil. Lalu meneguknya perlahan. Beberapa saat, ia menikmati minumannya, sambil memandangi asap rokok yang mengepul, membumbung tinggi dan hilang tersapu angin di langit-langit kamar.
Bayangan wajah Anita yang tersenyum bahagia di samping tunangannya, masih selalu hadir di pikirannya. Sekejap kemudian, berganti dengan bayangan tentang kebersamaan mereka beberapa hari yang lalu. Mengingat Anita yang menggandeng tangannya, saat berada di rumah Bu Ratna tempo hari, semakin membuat perih batinnya.
Saat itu, Andra sempat terkejut dengan apa yang dilakukan Anita. Namun kemudian, ia menikmatinya. Suatu perasaan bahagia terselip di lubuk hatinya. Ia hanya terdiam, dan menikmati saat-saat mereka berdekatan, dengan lengan yang saling menangkup, berjalan beriringan bersama.
Wajah Anita yang ayu malam itu, masih terekam jelas di benaknya. Pantulan cahaya bulan dan temaram sinar lampu taman, berpendar, menimpa wajah wanita yang berjalan di sampingnya. Membuat hidung mancung milik Anita kian menawan, dengan senyum lembutnya yang teduh.
Malam itu, Andra begitu bahagia, meresapi kedekatan sesaat, yang mungkin tidak akan pernah lagi bisa terulang kembali di hari-hari lain. Ia sudah cukup bahagia dengan itu semua. Rasa cintanya yang berusaha ia tepiskan, terasa kian nyata tiap harinya.
Dirinya tahu, itu adalah perasaan yang salah. Ia tahu, perasaannya itu tidak pantas diungkapkan, apalagi untuk diwujudkan. Ia selalu merasa berdosa, dengan apa yang dirasakannya. Tapi dia bisa apa.
Entahlah! Dia seringkali merasa bingung dengan takdir yang digariskan Tuhan padanya. Semuanya terasa berat untuk dilalui, bahkan sejak masa kecilnya. Semua seakan tidak ada yang indah untuknya.
Terlintas lagi kata-kata yang diucapkan oleh Anita satu minggu yang lalu. Ya, Anita memujinya. Setidaknya, tampak seperti itu untuk Anita, akan tetapi, tidak seperti itu bagi Andra.
Dia sangat tidak suka, bila ada seseorang yang memujinya 'cantik'. Padahal, itu adalah hal yang wajar, karena dia memang seorang perempuan. Tapi tidak bagi Andra. Pujian cantik sangat dibencinya, karena membangkitkan kenangan buruk untuknya.
Ya ... , suatu hari, saat ia duduk di kelas dua SMP, seorang lelaki teman ayahnya, pernah memujinya cantik. Dan tanpa disangka, pujian itu menjadi petaka bagi Andra. Sejak hari itu, ia sangat tidak suka bila ada orang yang memuji kecantikannya.
Dia ingat betul, lelaki itu selalu memujinya sambil memandanginya dengan tatapan tak berkedip, yang membuat gadis itu merasa tidak nyaman. Lelaki itu selalu melihatnya, dengan mata membulat, seakan ia adalah sebuah santapan lezat yang ingin dilahap.
Andra selalu berusaha menghindar, bila lelaki itu sedang berkunjung ke rumah. Dan sialnya, lelaki itu hampir setiap hari berkunjung ke rumah dengan alasan apapun, untuk menemui ayahnya. Andra sangat takut sekaligus benci melihatnya.
Dia selalu memilih untuk segera pergi ke rumah Bu Dhe Har atau ke rumah neneknya, saat orang itu datang. Hingga suatu hari, ayahnya sedang pergi ke luar untuk membeli makanan ayam, dan lelaki itu datang ke rumah.
Andra sudah mengatakan bahwa ayahnya sedang tidak ada di rumah, tapi orang itu tetap ngotot untuk menunggu ayahnya, dan memaksa masuk ke dalam rumah. Selanjutnya, dengan tiba-tiba, lelaki brengsek itu menghampiri Andra yang sedang berada di kamar.
Dia terus saja memuji-muji kecantikan Andra, sambil berusaha mencium bibir gadis kecil itu. Dengan sekuat tenaga, Andra berusaha melepaskan diri dari lengan kekar lelaki itu yang sudah menguasai tubuh kecilnya.
Namun, semakin ia meronta, semakin kuat pula si brengsek itu mencengkeram tubuhnya. Hingga akhirnya, satu tendangan kaki kecil Andra berhasil mendarat di bagian vital sang lelaki. Yang kemudian mampu membuatnya mundur perlahan, sambil memegangi bagian bawah perutnya.
Beruntung, saat itu ayahnya segera datang, dan Andra kecil segera berlari dengan kencang ke rumah nenek, lalu menangis sendirian di sebuah kamar kecil di sana. Kejadian itu, begitu membekas dalam ingatannya hingga kini.
Bahkan, sampai sekarang pun, sepertinya Andra masih bisa mendengar bisikan pujian dan erangan kesakitan dari lelaki itu. Dan sejak hari itu, dirinya sangatlah benci bila ada orang yang memuji kecantikannya. Sejak hari itu pula, ia memutuskan merubah penampilannya.
Ia memotong pendek rambutnya, dan selalu memakai pakaian longgar untuk menutupi bagian dada dan lekuk tubuhnya yang mulai tergambar indah. Sejak saat itu pula, dia lebih nyaman mengenakan segala sesuatu yang membuat dirinya terlihat seperti laki-laki. Kebenciannya pada laki-laki, semakin menjadi sejak hari itu pula.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/237543292-288-k485827.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Sang Editor (Tamat)
RomanceFollow dulu sebelum baca ya... Cerita ini makin seru lho, nggak nyangka bisa masuk peringkat ke 6 di wattpad novel 🌸🌸🌸 Anita adalah seorang wanita lajang berusia 27 tahun, pemilik sebuah usaha percetakan warisan dari S...