Bab 12 Melupakan Luka

21 2 1
                                    

PoV Andra

Ibu Anita baru saja pergi meninggalkan kosan, beberapa menit yang lalu. Aku masih duduk di lantai, menyandarkan kepalaku ke dinding kamar yang dingin.

Sebatang rokok terselip di antara bibirku yang pucat. Kuhirup dalam-dalam asapnya. Mataku menerawang, mengikuti gerakan kepulan asap yang membumbung tinggi ke langit-langit kamar, lalu perlahan memudar tertiup angin.

Sedikit ketenangan memenuhi pikiran, setelah beberapa kali kuhisap rokokku. Aku berusaha menelan rasa sakit hati, karena pukulan dari laki-laki brengsek itu di wajahku, seperti yang telah bertahun-tahun sudah biasa aku lakukan.

Menyimpan luka dan air mata.

Berkali-kali, aku meruntuki hidupku yang kurang beruntung ini. Rasanya, aku tidak punya semangat hidup lagi sekarang. Sampai sesaat tadi, Bu Anita datang. Dia begitu peduli padaku, di saat tidak ada seorang pun yang bisa aku jadikan sandaran.

Dia memberiku semangat, dan berkata, akan berusaha menjadi temanku. Hanya teman. Padahal, kalau boleh, aku berharap lebih dari itu. Karena aku merasa, semakin nyaman berada bersamanya.

Tapi tentu saja, itu tidak akan mungkin. Karena dia wanita normal yang sudah memiliki seorang kekasih, berbeda denganku, yang hanya seorang lesbian. Cinta yang aku rasakan, selamanya tidak akan pernah bisa aku rengkuh.

Aku kembali meruntuki diriku yang menyedihkan. Tidak pernah ada yang tulus mencintai, dan tidak akan pernah bisa memiliki orang yang aku cintai. Perlahan, tanganku bergerak menegak minuman dari botol pipih,  yang baru saja aku ambil dari dalam lemari.

Cairan hangat menerobos masuk melalui mulutku, dengan bau alkohol yang langsung tercium. Bau khas yang aku suka, yang selalu bisa membuatku tenang.

Tuuttt …. Tuuttt …. Tuuttt.

Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Kulirik sekilas layarnya, panggilan dari Celin.

Tumben, gadis itu menelepon, setelah beberapa hari yang lalu, tak kuhiraukan pesan dan telepon darinya. Pasti dia akan marah-marah padaku.

“Hallo.”

“Andra. Kamu dimana? Gimana sih, kamu. Beberapa hari nggak mau balas pesan dan tidak menjawab teleponku … bla … bla … bla … .” Terdengar Celin mengomel dari speaker ponsel.

Kubiarkan saja dia mengomel untuk beberapa saat, seraya aku jauhkan speaker ponsel dari daun telinga.

“Ndra, Andra! Apa kau masih di sana?” Kembali terdengar suara Celin yang nyaring memanggilku.

“Iya. Sudah selesai, ngomelnya? Aku sekarang lagi di kosan,” jawabku dengan malas.

“Ok. Aku akan ke sana.” Celin menjawab, lalu langsung mengakhiri panggilan sebelum aku sempat membuka suara.

Tumben, dia mau ke sini sendiri, biasanya, gadis manja itu selalu minta aku jemput. Ah, sekarang aku mulai merasa jenuh dengan Celin yang manja itu. Aku lebih nyaman berada bersama Bu Anita.

Aku mengenal Celin dari suatu komunitas yang aku ikuti, satu tahun yang lalu. Komunitas para kaum penyuka sesama jenis sepertiku. Di sana, aku merasa nyaman dan diterima dengan hangat oleh para anggotanya. Kami sudah selayaknya keluarga.

Semua saling menghargai dan menerima segala kekurangan yang masing-masing kami miliki. Tidak ada pandangan sinis atau bisik-bisik nyinyir yang menjelekkan sesama anggota. Semua saling memberikan dukungan pada sesama anggotanya yang sedang memiliki masalah.

Kami bebas bercerita, tentang berbagai masalah pribadi pada sesama anggota. Mereka akan dengan senang hati mendengarkan, tanpa takut rahasia kami tersebar di luar. Karena di sana, kami punya ikatan yang kuat untuk selalu menjaga rahasia para anggota.

Rata-rata, permasalahan yang kami hadapi adalah sama. Sakit hati yang berkepanjangan, karena keluarga yang tidak harmonis atau korban perceraian. Banyak juga yang telah menjadi korban pelecehan seksual atau mengalami deraan kekerasan fisik dari kecil.

Celin. Gadis muda itu baru lulus SMU saat pertama kenal denganku. Dia anggota termuda di komunitas. Dia tidak terlalu banyak bergaul, karena di komunitas, menjadi yang termuda.

Dia bergabung di komunitas, karena diajak oleh saudara sepupunya yang bernama Maya. Dari Maya-lah, akhirnya aku berkenalan dengan Celin.

Entah kenapa, Celin jadi langsung akrab denganku. Dia banyak bercerita tentang keluarganya. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya menikah lagi dengan seorang pria. Sayangnya, pria yang dinikahi ibunya bukanlah pria baik. Dia hanya berpura-pura baik di depan Ibu Celin. Namun, saat ibunya tidak ada, Ayah tiri Celin sering berbuat kasar dan pernah melakukan pelecehan seksual padanya.

Saat SMP, akhirnya Celin lari dari rumah dan pergi ke rumah neneknya. Hingga sekarang, dia tinggal bersama neneknya. Dari penampilannya, Celin sangat terlihat feminim, berbeda jauh dariku, yang selalu tampil seperti laki-laki.

Pada awalnya, kukira Celin adalah seorang gadis normal, hingga suatu saat, dia memelukku dari belakang dengan sangat erat. Dia bilang kalau dia menyukaiku, dan ingin selalu bersamaku. Karena merasa kasihan, akhirnya aku selalu menuruti kemauannya. Sebenarnya, aku tidak terlalu cinta dengan Celin.

“Andra!” Suara nyaring Celin terdengar bersamaan dengan pintu kamarku yang terbuka.

Aku menoleh ke arahnya, sesaat.

“Kau tampak kacau. Apa yang terjadi?” tanya Celin sambil membungkukkan tubuhnya di hadapanku. Aku masih terdiam dan menghirup rokokku dengan tenang.

“Tadi laki-laki itu datang ke sini. Kami ribut, lalu dia memukul wajahku,” kataku dengan suara parau.

“Ah…!“ Celin hanya menghela napas,  dan mengamati pipi kananku yang masih memerah.

Perlahan, dia mengusap pipiku dengan lembut, raut wajahnya berubah sedih. Seakan ikut merasakan segala rasa sakit, yang aku rasakan sejak tadi.

“Kenapa dia ke sini? Apa dia meminta uang padamu?” tanya Celin lagi. Kali ini, gadis itu sudah duduk berhadapan denganku.

“Dia mengambil Kartu Keluarga yang aku bawa sejak sebulan yang lalu. Dia mau menjual tanah peninggalan nenekku. Kami beda pendapat. Bu Dhe Har baru saja meninggal beberapa hari yang lalu. Dan itu semua gara-gara lelaki itu.”

Bu Dhe Har meninggal? Ndra, kenapa kau tidak memberitahuku tentang hal sepenting itu?” Celin langsung mengajukan pertanyaan, begitu aku selesai bercerita.

“Maaf. Aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Karena itu, aku tidak sempat menghubungimu,” kataku beralasan.

“Kondisimu terlihat sangat kacau. Bagaimana kalau kita pergi ke kafé sekarang? Kau akan sedikit terhibur di sana. Lagipula, kau sudah lama tidak muncul di komunitas, akhir-akhir ini. Maya menanyakannya padaku. Terakhir kali aku ke sana, aku juga tidak melihatmu,” ajak Celin.

Aku terdiam sesaat. Benar kata Celin, aku sudah lama tidak ke kafé, tempat di mana biasanya komunitas kami berkumpul. Sebenarnya, aku agak malas ke sana akhir-akhir ini. Yang ada di pikiranku hanya kerja, agar bisa selalu bertemu dengan Bu Anita.

Tapi mungkin, kali ini Celin benar. Aku membutuhkan sedikit hiburan saat ini. Untuk menjaga diriku agar tetap waras. Agar semua masalahku bisa aku lupakan walaupun hanya sesaat.

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang