Bab 1 Wasiat Dan Surat Resign

111 6 0
                                    

Anita memijit-mijit dahi sembari menatap tumpukan kertas di samping laptop, di atas meja kerjanya. Di situ terdapat orderan undangan, buku, dan brosur. Siang itu, ia masih terlihat berkutat di depan layar laptop, untuk menyelesaikan desain sampul buku yang harus segera naik cetak.

Ada tiga buah buku, yang desain  sampulnya harus segera diselesaikan. Belum lagi,  desain untuk beberapa pesanan undangan yang juga belum tersentuh.


“Ah! Sepertinya aku harus kerja lembur lagi malam ini,” runtuknya dalam hati.

Selain Anita, sebenarnya ada seorang editor yang bekerja di percetakan ini. Mbak Sari, begitulah ia biasa dipanggil. Sudah hampir satu bulan ini, perempuan muda itu mengambil cuti setelah melahirkan.

Otomatis, Anita-lah yang harus mengerjakan semua urusan desain.
Belum lagi urusan manajemen percetakan, yang juga harus ia tangani. Karena memang, dirinyalah pemilik dari usaha percetakan ini.

Anita merupakan anak sulung dari keluarganya. Percetakan ini, adalah usaha yang telah dirintis oleh almarhum ayahnya. Karena itu, semenjak ayahnya masih hidup, Anita-lah yang sering kali dibebani tanggung jawab, untuk membantu mengurusi percetakan.

Dari mulai urusan belanja kertas, tinta dan peralatan percetakan, Anita sudah menguasainya sejak lulus Sekolah Menengah Atas. Karena itu, setelah lulus kuliah, ayahnya langsung meminta putri sulungnya untuk memegang percetakan. Kala itu, ayahnya mulai mengajari sistim manajemen, karena memang, Anita adalah lulusan Sarjana jurusan Ekonomi Manajemen.

Secara perlahan-lahan, ayahnya mulai melimpahkan semua tanggung jawab kepengurusan percetakan pada Anita, seiring dengan semakin menurunnya kesehatan beliau. Di saat ayahnya sakit keras, ia sudah mewasiatkan pada Anita, bahwa dirinya harus mengurus dan mengembangkan percetakan agar semakin maju.

Anita mempunyai seorang adik laki-laki. Tetapi ia lebih memilih berkarir di bidang lain, dan menyerahkan sepenuhnya percetakan ini padanya, sebagaimana wasiat dari mendiang Sang Ayah.

Dari tahun ke tahun, Anita berjuang sendirian mengelola dan membesarkan percetakan. Ia habiskan seluruh tenaga dan pikiran,  untuk bekerja keras mengembangkan usaha percetakan, peninggalan ayahnya, guna memenuhi wasiat beliau.

Mungkin, karena terlalu sibuk bekerja, di usianya yang sudah memasuki angka 27 tahun, Anita masih juga belum menikah. Entahlah, baginya, menikah adalah prioritas nomor sekian dalam hidup. Fokusnya adalah, bekerja keras mewujudkan impian Sang Ayah, untuk membuat usaha percetakan keluarganya semakin maju.

Akan tetapi, setahun yang lalu, sebelum Sang Ibu meninggal, beliau mengingatkan akan kodrat Anita sebagai seorang wanita.

"Kodrat  wanita adalah menjadi istri dan menjadi ibu. Sesukses apa pun ia berkarir, tetapi kalau belum menjadi istri dan menjadi ibu, seorang wanita belumlah bisa disebut sukses yang sesungguhnya." Begitulah, pesan terakhir Sang Ibu.

"Ibu sangat ingin, melihatmu menikah, An," ujar beliau beberapa beberapa bulan sebelum meninggal.

Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain, ibunya meninggal lebih dulu, bahkan sebelum Anita punya seorang kekasih. Karena itulah, ia sangat sedih, belum bisa mewujudkan impian ibunya.

Sebenarnya, saat ini sudah ada seseorang yang sudah siap menjadi pendamping hidupnya. Lelaki itu adalah Raka. Ia berprofesi sebagai seorang trainer dan mempunyai sebuah usaha periklanan.

Raka adalah sosok pria baik yang dikirimkan Tuhan kepada Anita, setelah kepergian ayah dan ibunya. Ia sudah sering mendesak Anita, untuk segera meresmikan hubungan mereka.

"An, ayolah. Aku ingin kita segera meresmikan hubungan ini," pinta Raka beberapa kali.

Tapi lagi-lagi, Anita masih memikirkan usaha percetakannya.

"Iya, Ka. Tentu saja kita akan menikah suatu saat nanti. Tapi bukan dalam waktu dekat ini. Aku khawatir, bila seandainya nanti aku menikah dan punya anak, maka tidak akan bisa fokus lagi mengurus percetakan. Kalau bukan aku, lantas siapa lagi yang akan menggantikanku mengurus percetakan ini, Ka," kilah Anita.

"Aku tidak mau, percetakan ini harus mengalami kemunduran, karena aku sudah terikat janji pada mendiang ayah, akan memajukan usaha dengan sekuat tenaga."

Namun, mewujudkan keinginan mendiang ibu juga merupakan beban yang harus dia laksanakan dalam waktu dekat.

“Tapi, selama ini kamu sudah bekerja keras, An. Sekarang sudah saatnya,  kamu memikirkan dirimu sendiri, masa depanmu, juga aku. Sudah satu tahun, kamu mengulur-ngulur waktu untuk menikah. Lalu, harus berapa lama lagi, aku harus menunggu.  Kesabaran orang ada batasnya, An. Jangan salahkan aku, bila suatu saat aku sudah tidak bisa lagi menunggumu.” Begitulah, Raka mendesak Anita beberapa waktu yang lalu.

Hingga akhirnya, Anita pun memutuskan untuk bertunangan sementara waktu dengan Raka.

"Baiklah. Gimana kalau kita bertunangan saja dulu? Selanjutnya, acara pernikahan bisa kita rencanakan lagi, mungkin enam bulan lagi, atau satu tahun ke depan." Anita menawarkan pilihan, sambil ia pikirkan solusinya, agar percetakan bisa tetap berjalan, saat dirinya menikah dan punya anak nanti.

***

“Mbak, masa nggak bisa dipertimbangkan lagi?” bujuk Anita.

Hari ini, Mbak Sari datang ke kantor. Bukan untuk masuk kerja, melainkan ia datang dengan membawa surat resign. Itu adalah pukulan terberat untuk Anita. Ia harus rela, melepaskan karyawan sebaik Mbak Sari di saat orderan sedang banyak-banyaknya.

“Mbak Sari minta gaji berapa? Nanti,  aku usahakan untuk bisa memenuhinya. Tapi tolong, jangan keluar Mbak, aku masih sangat membutuhkan tenaga Mbak Sari,” lanjut Anita mencoba bernegosiasi.

“Bukan begitu, Bu Anita. Ini bukan masalah gaji. Tapi masalahnya, suami saya harus pindah tugas ke luar kota. Kalau saya tetap ngotot bekerja, lantas siapa nanti yang membantu saya jaga si kecil,” kata Mbak Sari.

“Oh …, jadi Mbak Sari juga ikut suami pindah ke luar kota?”

“Iya, Bu.” Mbak Sari mengangguk.

“Ya sudahlah, kalau begitu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi," ujar Anita dengan nada putus asa.

"Oh ya, ini ada sedikit uang pesangon, sebagai rasa terima kasih saya, atas bantuan yang Mbak Sari berikan pada percetakan ini. Saya juga minta maaf, kalau selama ini ada salah sama Mbak Sari.” Anita menyalami Mbak Sari sambil mengulurkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar uang.

Setelah berpamitan pada Anita, tak lupa juga, Mbak Sari berpamitan pada seluruh karyawan percetakan yang merupakan teman-teman kerjanya selama ini.

Sebelum melangkah keluar, Anita menyempatkan diri berpelukan dengan Mbak Sari yang sudah bertahun-tahun, bekerja bersamanya. Perempuan berhijab itu, sudah ia anggap sebagai saudara, daripada karyawan pada umumnya. Dirinya juga sudah terbiasa bercerita dan mencurahkan tentang berbagai hal pada Mbak Sari.

Tapi sekarang, Anita tidak akan bisa lagi bekerja dan bertemu lagi dengan editornya itu, untuk waktu yang lama. Berat rasanya, melepaskan pelukan dan melepaskan Mbak Sari pergi. Air mata keduanya pun, saling bejatuhan, saat mereka berpelukan satu sama lain.

"Semoga Mbak Sari selalu sehat," ucap Anita di sela deraian air mata.

"Iya, Bu. Maafkan saya, sudah tidak bisa lagi menemani Bu Anita di sini." Mbak Sari terisak sambil mengusap lelehan air yang mengalir di pipi.

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang