Bab 8 Kabar Yang Menyedihkan

29 1 0
                                    

Pov Andra

Orderan di percetakan lumayan banyak beberapa pekan ini. Secara otomatis, pekerjaan membuat desain juga sudah antre. Tapi untunglah, kebanyakan desain untuk undangan, yang tidak begitu rumit. Ada juga beberapa desain untuk sampul buku dan brosur, yang cukup memakan waktu.

Semuanya di-deadline cetak untuk minggu ini, sampai dengan minggu depan. Aku dan Bu Anita, bahkan jarang sekali mengobrol dalam beberapa hari ini.

"Ndra. Besok desain undangan yang harus di-layout sudah siap? Aku akan memeriksanya dulu," kata Bu Anita yang sudah berdiri di depan pintu ruanganku.

"Iya, Bu. Ini dari tiga undangan, yang satu masih perlu finishing sedikit lagi," jawabku sambil masih sibuk menatap layar laptop.

"Ok. Kalau sudah selesai, tolong kamu antar ke ruanganku. Oh ya, aku mau keluar membeli tinta dan beberapa kertas undangan. Nanti flashdisk-nya kamu taruh di mejaku saja ya," ucap Bu Anita sambil berlalu.

Belum sempat aku menjawab, Bu Anita sudah tidak lagi berada di posisinya. Mataku masih sibuk mengamati software coreldraw yang sejak tadi aku buka di layar laptop, ketika sebuah panggilan masuk muncul di layar ponsel.

Hari menjelang siang. Segera aku raih ponsel yang berada di atas meja, di samping laptop. Panggilan dari Mbak Wiwik, putri bungsu Bu Dhe Har.

Deg!

Aku langsung punya firasat buruk, saat melihat nama Mbak Wiwik tertera di layar ponsel. Karena sangat jarang, Mbak Wiwik menghubungiku, kecuali ada sesuatu hal yang penting.
Dengan pikiran yang tidak enak dan tangan yang sedikit gemetar, aku usap layar gawai, lalu segera menjawab telepon dari Mbak Wiwik.

"Hallo, Ndra!" Suara Mbak Wiwik terdengar dari seberang sana.

"Iya, Mbak. Ada apa?" tanyaku.

Suara Mbak Wiwik terdengar parau, dan sedikit terisak. Dia mencoba mengatur napas, agar dapat bicara dengan jelas di telepon. Jantungku seketika berdetak semakin keras, ada kecemasan yang tiba-tiba menerpa.

"Ndra, Ibu Ndra ...! Ibu ...." Belum selesai Mbak Wiwik melanjutkan kata-katanya, aku sudah mencecarnya dengan pertanyaan.

"Bu Dhe kenapa, Mbak?" tanyaku dengan nada panik.

"Ibu ... huhuhu ... Ibu baru saja berpulang Ndra ... , huhuhu ...." Mbak Wiwik berucap sambil tersedu.

Seketika, tubuhku terasa kehilangan seluruh tenaga. Hampir saja, aku menjatuhkan benda pipih yang sedang aku pegang. Mulutku terkunci, tak dapat berucap sepatah katapun. Hanya bulir bening, yang secara perlahan menggenang di kelopak mata dan meluncur tak terbendung.

"Bu ... Bu Dhe. Bu Dhe Har ...," kataku pelan dengan perasaan sedih dan rasa tidak percaya.

"Iya, Ndra. Ibu telah dipanggil oleh yang kuasa. Satu jam lagi, akan dimakamkan. Jasadnya baru saja sampai dari rumah sakit," ucap Mbak Wiwik diantara isak tangis.

Mendadak, kepalaku terasa sangat berat, seperti tertimpa batu ribuan ton. Tubuhku gemetar, dan terasa lunglai beberapa saat. Rasanya, apa yang aku dengar seperti mimpi. Dan aku berharap, semua yang dikatakan Mbak Wiwik lewat telepon, tidaklah nyata.

"Ndra. Andra ! Apa kamu masih mendengarku?" panggil Mbak Wiwik dari ujung telepon.

"Iy ... iya Mbak," sahutku, sambil menahan isak tangis.

"Aku segera ke sana, Mbak," lanjutku.

"Baiklah, Ndra. Aku tutup dulu ya," kata Mbak Wiwik sebelum mengakhiri panggilan.

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang