Bab 18 Mengungkap Rasa

12 1 0
                                    

Tuuutt … tuuutt … tuuutt.

Ponselnya mengeluarkan nada notifikasi panggilan. Tak berapa lama, sebuah suara terdengar di ujung sambungan telepon.

“Hallo, Ndra. Ada apa?”

“Hallo, Bu. Bisakah saya menemui ibu hari ini?”

“Hari ini? Tumben, kok mendadak? Bukankah hari ini kita tidak ada jadwal konseling?”

“Iya, betul, Bu. Tapi saya sangat ingin berbicara dengan ibu hari ini. Saya mohon, ibu bisa meluangkan waktu sebentar untuk saya.”

“Hmmm … , baiklah. Saya baru ada waktu bebas setelah pukul delapan malam ini. Kau bisa datang ke rumah setelah jam delapan.”

“Baiklah. Saya akan ke sana jam delapan malam. Terima kasih banyak, Bu.” Andra menutup sambungan telepon.

***

Gadis muda itu sudah duduk di sebuah sofa, di ruangan yang tidak begitu luas.

“Ibu menyuruh menunggu sebentar.”

Seorang wanita yang bertubuh agak tambun memberi tahu Andra, dan sekejap kemudian berlalu dari hadapannya. Andra hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil menikmati segelas sirup yang disuguhkan padanya.

“Ayo, masuklah.” Tak berapa lama, seorang wanita muncul, lalu mengajaknya menuju ke sebuah ruangan.

Setelah mereka berdua duduk pada kursi masing-masing, sang wanita yang tidak lain adalah Ratna, mulai membuka pembicaraan.

“Kau terlihat agak kacau hari ini. Kau bisa mulai menceritakan bebanmu padaku, Ndra.”

“Bu, tapi kali ini …, sepertinya saya sulit kalau harus bercerita.”

“Hmmm … , baiklah kalau begitu. Kau bisa menuliskan apa yang mengganggu pikiranmu.” Ratna berkata, sambil kemudian mengulurkan secarik kertas dan sebuah pena pada Andra.

Untuk beberapa saat, Andra sudah terlihat sibuk menulis. Hanya dalam lima belas menit, kertas berukuran folio itu sudah terlihat penuh dengan tulisan tangannya.

Kemudian, Andra mengulurkan kertas yang penuh coretan tinta itu pada Ratna. Sejenak, wanita itu memandangi dan membaca semua tulisan Andra dengan saksama. Lantas dahinya tampak berkerut untuk sesaat.

“Apa kau sudah merasa lega sekarang?” tanya Ratna.

“Iya, sedikit.”

“Aku sudah membaca tulisanmu. Aku bisa mengerti, dan menghargai segala yang kau tulis, termasuk perasaanmu pada Anita. Aku mengerti dengan apa yang sedang kau rasakan. Sebaiknya, kau harus berusaha menerima segala perasaanmu itu. Terimalah dengan lapang dada, kalau kau agak berbeda. Karena perbedaan itulah, yang akan kita benahi perlahan. Tapi tahapannya saat ini, kau hanya perlu menerima dirimu, jangan kau tolak, atau kau lawan. Karena itu akan menambah rasa tertekan. Itu tidak akan baik untukmu. Dan aku harap,  kau tidak lagi menjadikan alkohol sebagai temanmu saat merasa tertekan. Kau bisa menemuiku dan berbagi denganku, Ndra. Bukankah kau juga sudah berjanji pada dirimu dan Anita, bahwa kau ingin berusaha berubah menjadi lebih baik? Aku harap kau akan terus berusaha. Karena Anita akan sangat merasa kecewa dan sedih kalau kau kembali menjadikan alkohol sebagai pelarian.”
Psikolog itu memberikan penuturan panjang.

Andra hanya tertunduk diam, sambil meresapi apa yang baru saja di sampaikan oleh sang Psikolog.

“Aku yakin, kamu bisa melewatinya, Ndra. Aku dan Anita, akan selalu membantumu melaluinya," ucap Ratna berusaha meyakinkan.

“Tapi, Bu. Bu Anita sebentar lagi akan menikah. Semuanya akan menjadi berbeda. Dengan adanya suami di sampingnya, pastilah semuanya tidak akan sama.” Suara Andra terdengar putus asa.

“Andra, Anita baru akan menikah tiga bulan lagi. Dan mungkin saja, kau akan bisa sembuh dan lebih baik dalam tiga bulan ke depan. Iya, kan?” tandas Ratna.

“Karena itulah, kau tidak boleh menyerah. Kau bisa menemuiku kapan saja. Oke?!” sambung Ratna.

“Iya, Bu. Terima kasih banyak.”

***

Braakk!!

Terdengar sesuatu dibanting dari dalam kamar. Suara seorang gadis muda yang berbicara dengan nada tinggi sayup-sayup terdengar dari luar.

“Celin, hentikan! Lalu mau kamu apa? Datang-datang langsung marah, aja.” Andra terdengar mencoba berbicara.

“Ya, tentu saja aku marah! Aku ini masih pacar kamu. Wajar kan, kalau aku marah. Karena sekarang kamu lebih suka menghabiskan waktu dengan wanita itu daripada bersamaku. Hampir satu bulan ini kamu mengacuhkan aku. Kau tidak pernah lagi membalas pesan atau menjawab teleponku. Kata teman-teman kau juga sudah tidak pernah lagi datang ke café. Kau sekarang berubah, Ndra!” Celin masih meradang.

“Celin, aku sibuk di percetakan akhir-akhir ini. Orderan banyak. Jadi aku juga harus mengerjakan desain agar selesai tepat waktu.”

“Ah … , itu hanya alasanmu saja. Aku melihatmu bersama wanita itu di food center di dekat percetakan satu minggu yang lalu. Kalian ngobrol lama di sana. Padahal, waktu itu aku berkali-kali menelepon dan tidak pernah kau jawab,” ujar Celin sengit.

“Kami hanya pergi makan siang, Celin.”

“Kau jangan bohong! Kau pasti ada hubungan dengan wanita itu," tukasnya.

“Itu tidak mungkin Celin! Dia itu wanita normal, tidak seperti kita. Lagipula … dia sudah bertunangan beberapa hari yang lalu.” Andra masih berusaha memberi penjelasan.

“Oh ya? Apakah benar kau masih mencintaiku?” Gadis itu lantas bergerak mendekati Andra. Wajah Celin kini hanya berjarak beberapa senti dari hidung Andra.

Matanya menatap tajam pada mata kecil Andra. Dia terus saja bergerak,  mendekatkan wajahnya dan berusaha mencium bibir Andra. Andra beringsut perlahan, menjauhi bibir gadis di hadapannya yang berbau alkohol.

“Celin, kau mabuk, ya? Duduklah, agar kita bisa bicara dengan tenang.” Tangan Andra bergerak menjauhkan wajah Celin dari dirinya, kemudian membimbing gadis belia itu untuk duduk di hadapannya.

“Celin, kau sudah lama mengenalku, kan? Aku tidak akan mungkin berhubungan dengan Bu Anita. Dia akan menikah, dan dia adalah wanita normal. Yang kupunya hanyalah kamu. Kau tahu itu kan?” Andra mengusap rambut panjang Celin dengan lembut.

Perlahan, gadis itu mulai tenang. Ia lalu menyulut sebatang rokok yang sejak tadi tergeletak di dalam bungkusnya, di dekat mereka.

“Awas ya, kalau kau sampai menghianati aku. Aku tidak akan melepaskanmu. Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka orang lain juga tidak. Kita hanya akan dipisahkan oleh kematian.” Gadis itu berujar dengan nada tajam, sambil menghembuskan asap rokoknya ke wajah Andra.

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang