Bab 20 Sang Korban

14 1 0
                                    

Anita masih terpaku, seperti tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Beberapa kali, dia berusaha mengerjap-kerjapkan mata, lalu mengamati dengan saksama, pada tubuh yang tergolek tak bergerak di hadapannya.

Darah menggenang di sekitar kepala korban. Sebuah kacamata tergeletak, tak jauh dari telapak tangan yang berdarah tergores aspal.

Salah satu kacanya retak, dan satu lagi sudah remuk menjadi kepingan kecil yang berserak. Frame-nya bengkok di beberapa bagian, dengan tangkainya patah sebelah.

Jaket itu seperti milik Andra. Kacamata itu juga, yang biasa dikenakan oleh Andra.

Anita mencoba lebih mendekat dan melihat wajah yang berlumuran darah.

Dan memang benar yang dilihatnya ... , itu ... adalah ... Andra!

"Andra! Andra! Andra ...!" Anita langsung berteriak dan menghambur, pada tubuh yang tak bergerak bersimbah darah itu. Tangisan histeris tak bisa lagi ditahannya.

Anita mengguncang-guncang tubuh Andra yang tergeletak di atas aspal, di bawah temaram cahaya lampu jalan, dengan kepala yang terus mengeluarkan darah.

Baju Anita juga terkena noda darah di sana-sini. Tetapi perempuan itu tidak lagi mempedulikannya. Dia terus saja menangis, sambil memeluk tubuh Andra.

Hingga akhirnya, seseorang menarik tubuhnya, dan memintanya menjauhi tubuh korban.

"Maaf Bu, sebaiknya anda minggir dulu. Kami akan membawa korban ke rumah sakit, dan melakukan olah TKP." Ternyata, polisi sudah tiba di sana.

Salah satu diantaranya, menarik tubuh Anita dan membimbingnya ke tepi jalan. Dengan perasaan hancur dan tubuh lunglai, Anita bergerak ke sisi jalan, dipapah oleh seorang petugas kepolisian.

"Apakah ibu mengenal korban?" tanya Pak polisi pada Anita.

Anita hanya mampu mengangguk, sembari terus meneteskan air mata. Tubuhnya lemas, seperti kehilangan tenaga. Dia terduduk di pinggir jalan, sambil terus menangis, dua telapak tangannya menutupi wajah yang dipenuhi air mata.

"Ini barang-barang milik korban. Untuk sementara, Ibu bisa membawanya. Tapi sewaktu-waktu, kami mungkin akan membutuhkan keterangan dari Ibu. Karena ada dugaan, ini adalah peristiwa tabrak lari." Bapak Polisi kembali menghampirinya.

Anita menerima sebuah tas yang diulurkan oleh bapak Polisi, lalu segera mengamit benda itu dengan lengannya. Mendekapnya ke dada, sambil masih terisak dalam tangisan yang dalam.

Tubuh Andra terlihat sudah digotong masuk, ke dalam sebuah mobil ambulance yang baru saja datang. Dua orang polisi ada yang mendampingi, ikut di mobil ambulance, lalu satu orang lainnya, mulai mengajukan pertanyaan pada orang-orang yang berada di tempat kejadian, yang mungkin mengetahui kronologi kecelakaan.

Anita segera melangkah menuju mobilnya, dengan langkah gontai. Dia menarik napas panjang untuk beberapa saat, berusaha menguasai diri, diantara kekalutan dan perasaan sedih.

Mengusap air mata yang terus saja berderai tak terbendung, lalu segera menginjak pedal gas, melajukan mobil mengikuti ambulance yang telah bergerak membawa Andra ke rumah sakit.

Tiga puluh menit kemudian, perempuan muda itu sudah terlihat duduk di ruang tunggu UGD rumah sakit. Beberapa menit yang lalu, Andra sudah mulai menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh tim dokter di ruang UGD, sambil menunggu dipindahkan ke kamar rawat.

Anita terlihat mencari-cari ponsel dari dalam tasnya, lantas berusaha menghubungi Raka.

"Halo, Raka." Anita berbicara dengan suara bergetar dan parau, masih sesekali menahan isak tangis.

"Iya, An. Ada apa? Kau sepertinya sedang menangis. Apa semua baik-baik saja?" Raka terdengar cemas.

"Ka ... Andra ... Andra kecelakaan. Aku ... aku sekarang sedang di rumah sakit ... ," ucap Anita terbata ditengah isak tangis.

"Apa?" sentak Raka dari sambungan telepon.

"Tenanglah, An. Aku akan segera ke sana," lanjut Raka sebelum menutup sambungan telepon.

Anita masih duduk di kursi tunggu, sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Air bening masih saja mengalir deras dari kedua pelupuk mata. Pikiran-pikiran yang buruk terlintas di benaknya.

Ketakutan akan kondisi Andra, yang kian menumbuhkan kecemasan. Semua rasa berkecamuk, campur aduk memenuhi ruang kepala Anita.

Tiba-tiba, tepukan lembut di bahunya, menyadarkan dari lamunan panjangnya sesaat lalu. Anita menoleh perlahan, dan mendapati Raka sudah berdiri di sisinya, dengan wajah yang juga diliputi kecemasan.

"Tenanglah. Semua akan baik-baik saja." Raka berbisik pelan, sambil mengusap punggung kekasihnya dengan lembut.

Anita hanya menanggapinya dengan kebisuan, disertai isak tangis yang panjang.

"Aku takut, Ka. Takut kalau Andra ... , Andra ...." Anita tidak mampu lagi meneruskan kata-kata, napasnya tersengal-sengal diantara sedu sedan tangisan.

Raka mengambil duduk di samping Anita, lalu perlahan meraih kepalanya, merengkuhnya dalam dekapan, sambil mencoba menenangkan sang wanita pujaan.

"Do'akan saja, An. Semoga hanya akan terjadi hal-hal baik pada Andra. Andra masih sangat muda, pasti dia bisa kuat melewati masa kritis ini, dan akan sehat kembali." Raka berkata pelan.

"Apa kau sudah menghubungi keluarganya?" tanya Raka kemudian.

"Belum. Aku juga tidak tahu tentang keluarganya, Ka. Hubungan Andra dengan ayahnya juga tidak terlalu baik. Hhhh ..., entahlah." Anita menarik napas, mengusap wajahnya sambil menggelengkan kepala.

Tiba-tiba, seorang perawat keluar dari ruangan UGD sambil berkata, "keluarga dari korban kecelakaan yang bernama Andra?"

"Iya suster. Saya keluarganya." Anita segera berdiri disusul oleh Raka.

"Pasien belum juga siuman. Dia mengalami luka kepala yang cukup berat. Kami akan segera memindahkannya ke kamar rawat." Sang perawat memberikan penjelasan.

"Iya, Suster." Anita mengangguk.

Sesaat kemudian, Andra yang terbaring di sebuah tempat tidur beroda, terlihat didorong oleh beberapa perawat menuju ke ruangan lain. Dia masih terbaring tak bergerak, dengan mata yang masih tertutup rapat.

Kepalanya terbalut perban putih yang berwarna merah di beberapa bagian, karena darah yang masih merembes keluar. Jarum infus juga tertancap di pergelangan tangannya yang lemah. Sebuah selang oksigen terpasang rapi di kedua lubang hidungnya.

"Aku akan menginap di sini malam ini," ujar Anita setelah mereka sampai di kamar rawat.

"Baiklah. Aku akan menemanimu." Raka berkata, sambil memandang ke arah Anita yang duduk di sebuah kursi, di samping tempat tidur dimana Andra dibaringkan.

"Rasanya, tadi kami baru saja melewati waktu bersama. Kami baru saja pulang dari salon, dan seharusnya, Andra sudah pulang ke kos-an saat itu ...." Anita kembali terisak.

"Sudahlah, An. Ini semua sudah digariskan Tuhan." Raka kembali menangkupkan kepala Anita ke dalam pelukannya.

"Aku mengkhawatirkanmu, An. Kau juga harus menjaga kesehatan. Jangan seperti ini terus. Kau pasti belum makan sejak sore tadi."

Anita hanya terdiam, kembali tenggelam dalam isak tangis.

"Kau ingin makan apa? Aku akan membelikannya untukmu."

"Apa saja, Ka. Aku tidak berselera makan saat ini." Anita menjawab lirih, sambil pandangannya tidak beralih dari tubuh yang tergolek diam di atas pembaringan.

"Baiklah." Raka menjawab pendek, lalu segera melangkah keluar kamar meninggalkan Anita sendirian.

*****

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang