Bab 11 Siluet Luka

18 2 1
                                    

“PLAKK!!”

Terdengar suara tamparan yang cukup keras, dari dalam kamar kos Andra. Anita berhenti sejenak,  beberapa langkah dari teras.

“Tampar saja, aku! Bunuh aku,  sekalian!” Terdengar teriakan nyaring Andra, dari dalam.

“Dasar, anak tak tahu diri!” Suara seorang pria terdengar lantang, penuh emosi.

Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh agak tambun, tiba-tiba saja keluar dari dalam kamar dengan terburu-buru. Hampir saja, dia menabrak Anita yang kebetulan sedang berdiri di teras kamar.

Lelaki itu segera menaiki salah satu motor, yang sedang diparkir di depan teras kamar. Orang itu buru-buru melajukan motornya, keluar dari pelataran rumah kos. Hingga beberapa menit kemudian, bayangannya menghilang di ujung gang.

Anita kembali melangkah dengan hati-hati. Lalu sejenak, berhenti di depan pintu kamar. Dia melihat Andra, yang sedang duduk terpekur di lantai, samping tempat tidur. Sebuah botol minuman berbentuk pipih berada di hadapannya.

Gadis itu terlihat kacau, rambutnya acak-acakan. Wajahnya tertunduk ke lantai, dalam-dalam. Aroma alkohol menguar, langsung tercium, begitu kaki jenjang Anita menginjak lantai kamar.

Kelihatannya, Andra tidak menyadari akan kehadiran Anita. Sesaat, Anita  sedikit terhenyak, dengan pemandangan yang sedang tersaji di depannya.

Beberapa detik, ia terpaku di depan pintu kamar yang terbuka. Berpikir sejenak, apa yang sebaiknya dilakukan pada situasi seperti ini.

Namun akhirnya, Anita memilih untuk tetap melangkah ke dalam kamar, mendekati sosok Andra.

“Ndra! Maaf…, aku langsung masuk. Karena kulihat, pintu kamarmu terbuka,” kata Anita sambil melangkah ke arah Andra, yang masih bergeming dari posisinya.

Dengan sedikit tersentak, Andra menoleh ke arah Anita. Dia tampak terkejut, dengan kehadiran sosok wanita anggun yang dikaguminya itu. Gadis muda itu, buru-buru berusaha merapikan rambutnya yang acak-acakan dan mengusap air mata yang mengalir dari balik kaca mata.

Dia pun berusaha berdiri, dengan sedikit terhuyung. Anita kemudian berusaha memegangi tubuh kurus editornya, yang terlihat lunglai, lalu perlahan memapahnya untuk kembali duduk di lantai kamar.

“Sudahlah, duduk saja. Tidak apa-apa,” kata Anita sambil berusaha menenangkan.

Andra kembali duduk dengan wajah tertunduk. Dia melepas kaca mata yang dari tadi tampak berembun,  karena keringat dan air matanya.

“Maaf, kalau aku datang di saat yang tidak tepat. Aku bisa pergi, kalau kau mau,” ujar Anita dengan hati-hati.

“Eh …, tidak. Tidak apa-apa, Bu. Maaf, kalau Ibu ke sini, dan melihat kondisi saya yang kacau seperti ini.” Andra berkata dengan suara parau.

Dia terlihat tidak enak, karena Anita melihat kondisinya sekarang ini. Tapi menurut Anita, saat ini gadis berkacamata itu sangat butuh seorang teman, untuk mengurangi beban psikisnya.

“Itu… itu tadi…, siapa?” Anita bertanya dengan ragu.

Entahlah, dia hanya ingin bertanya. Dirinya juga tidak terlalu berharap,  Andra mau memberikan jawaban. Setidaknya, itulah yang bisa dilakukan seorang teman. Hanya bertanya.

Gadis muda itu, memandang Anita sekilas. Matanya terlihat sayu, dan agak bengkak. Terlihat pipi kanannya sedikit memerah.

‘Pasti bekas tamparan  tadi,’ pikir Anita.

Hatinya begitu teriris, melihat pipi Andra yang memerah, bekas telapak tangan. Gadis semuda itu, harus menghadapi kerasnya kehidupan, dan mendapatkan deraan kekerasan tanpa ada yang melindungi.

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang