Malam kian larut. Tubuh Anita sudah terbaring di atas tempat tidur, sejak beberapa jam yang lalu. Namun, matanya sulit untuk terpejam.
Percakapan dengan Andra beberapa saat yang lalu, masih terekam jelas dalam ingatannya. Ternyata, gadis itu memendam begitu banyak luka dan kesedihan, juga kebencian yang mendalam kepada ayahnya.
Sebuah tanya terlintas dipikiran Anita, bagaimana mungkin, Andra bisa menyimpan kebencian yang begitu besar kepada ayahnya?
Bukankah seharusnya, ayahnya-lah yang menjadi orang terdekatnya, menggantikan posisi sang Ibu. Semestinya, ayahnya-lah yang melengkapi kasih sayang seorang ibu yang telah lama meninggalkannya.
Tetapi, malah Bu Dhe-nya yang seakan lebih peduli dan lebih sayang pada gadis itu. Mungkin, karena itulah, dia menjadi enggan dan benci untuk menjalin hubungan dengan laki-laki.
Rasa simpati Anita yang besar pada Andra, semakin mendorongnya untuk menjadi seorang teman, yang bisa mendengarkan segala cerita dan keluh kesah sang gadis editor.
Menurut Anita, hal itulah yang selama ini dibutuhkan oleh Andra.
Terbersit sebuah keinginan kuat dalam diri Anita, untuk menolong Andra, agar ia bisa mengatasi masalahnya dan hidup normal seperti perempuan kebanyakan. Yang bisa mencintai lawan jenis dan membina rumah tangga suatu saat nanti.***
Siang itu, Anita mengajak Raka untuk menemaninya makan siang. Andra ia berikan ijin untuk libur hari ini.
“Andra libur hari ini,” kata Anita pada Raka, sambil menggigit gorengan yang tadi sengaja ia beli.
“Kenapa? Dia sakit?” tanya Raka sambil ikut mengambil sepotong gorengan di meja.
“Tidak. Kemarin Bu Dhe-nya meninggal. Dia tampak sangat berduka. Aku memutuskan untuk memberikan libur, agar dia bisa menenangkan diri sejenak.”
“Oh … begitu.”
“Iya. Tadi malam dia ke rumah, untuk mengantarkan hasil desain yang harus di layout hari ini. Lalu, dia banyak bercerita padaku. Kasihan sekali anak itu, Ka. Ternyata, dia banyak sekali menyimpan luka dan kesedihan.”
“Oh ya?” Raka kembali bertanya, sambil menatap kekasihnya yang masih asyik menikmati gorengan.
“Tapi menurutku, kau jangan terlalu masuk ke ranah pribadinya, An. Perlu diingat, bahwa kau dan dia cuma berhubungan dalam hal pekerjaan. Itu tidak akan baik untuk hubungan kerja kalian. Kau akan kehilangan keobyektifitasan pada karyawanmu, bila kau terlalu jauh masuk ke ranah pribadinya,” lanjut Raka.
“Tapi, Ka. Aku kasihan banget sama dia. Sepertinya, dia membutuhkan seorang teman untuk bercerita. Keluarganya tidak ada satu pun yang peduli padanya,” tukas Anita.
“Pantas saja kelurganya nggak peduli. Emang dia aneh gitu. Mungkin, keluargan si Andra merasa, sudah tidak bisa lagi memperbaiki kelakuannya. Karena itulah, akhirnya mereka mengabaikannya,” ujar Raka.
Tapi, kali ini, Anita tidak sependapat dengan Raka. Dia tetap bertekad ingin membantu masalah Andra. Ia ingin membawanya ke psikolog.
“Oh ya, Ka. Kamu punya kenalan psikolog, nggak?” tanya Anita sambil mulai menyuap makan siang.
“Punya. Emang kenapa?” tanya Raka sambil menelan makanan yang dikunyahnya.
“Laki-laki atau perempuan?” Anita bertanya lagi tanpa menjawab pertanyaan Raka sebelumnya.
“Perempuan ada. Laki-laki ada.”
“Aku minta kontaknya yang perempuan, ya,” pinta Anita.
“Ok. Tapi sepertinya, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang butuh ke psikolog?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Sang Editor (Tamat)
RomanceFollow dulu sebelum baca ya... Cerita ini makin seru lho, nggak nyangka bisa masuk peringkat ke 6 di wattpad novel 🌸🌸🌸 Anita adalah seorang wanita lajang berusia 27 tahun, pemilik sebuah usaha percetakan warisan dari S...