Bab 23 Sebuah Praduga

15 1 0
                                    


Anita berjalan memasuki area pemakaman, ia melangkah menuju gundukan tanah merah, tempat peristirahatan Andra yang terakhir.

Kacamata hitam bertengger di hidung kecilnya yang mancung. Warna gelapnya berhasil menutupi kantung mata, di sekitar mata bulat wanita muda itu yang masih sembab.

Ia memelankan langkah, ketika melihat dua orang perempuan yang sedang berjongkok di sisi makam Andra. Salah satunya adalah seorang gadis muda, yang pernah dilihatnya bersama Andra di sebuah Mall beberapa bulan yang lalu.

Lamat-lamat, Anita masih mengingatnya. Kalau tidak salah, gadis itu bernama Celin. Setahu Anita, dia adalah teman dekat Andra. Lebih tepatnya, seorang teman spesial, atau bisa juga disebut sebagai pacar.

Gadis muda itu tampak sedang berbicara sembari mengusap-usap nisan pada pusara yang bertuliskan nama Andra. Di sampingnya, ada seorang perempuan muda berperawakan agak gemuk, berambut pendek yang sedang sibuk menaburkan bunga-bunga dari sebuah keranjang rotan yang dijinjing di tangannya.

Anita belum pernah melihat perempuan muda berpotongan cepak yang sedang menabur bunga itu. Mungkin, itu adalah salah satu kerabat Celin, begitu dugaan Anita. Karena setahunya, para kerabat Andra sebagian besar sudah datang ke prosesi pemakaman dua hari yang lalu.

Anita berhenti dan berdiri beberapa meter di belakang mereka. Ia hanya diam dan menunggu dua orang itu menyelesaikan keperluannya.

Namun mendadak, perempuan yang membawa keranjang rotan itu menyadari keberadaan Anita, lalu menoleh sesaat.

Ia kemudian berbisik, memberi tahu gadis muda yang ada di sampingnya. Memberikan tanda, bahwa ada orang lain yang sedang berdiri di belakang mereka.

Celin segera menoleh ke belakang, masih dalam posisi berjongkok, lalu menatap tajam pada Anita dengan ekspresi yang dipenuhi rasa tidak suka.

“Kau! Kau-lah penyebab dari semua ini. Kau-lah, yang menyebabkan Andra mati!” teriaknya tiba-tiba, sambil berdiri menghadap ke arah Anita.

Suara Celin terdengar nyaring, memecah kesunyian suasana di area pemakaman siang itu. Jari telunjuknya menuding-nuding wajah Anita, tapi ia hanya diam dengan pikiran penuh tanya.

“Sudahlah, Celin! Hentikan! Kuasai dirimu!” Si perempuan gemuk yang bersama Celin,  menarik lengan sang gadis sambil berusaha menenangkannya.

“Ayo, kita pergi dari sini,” katanya lagi, sambil mengamit lengan gadis berambut panjang itu, dan mengajaknya pergi dari hadapan Anita.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir ranum milik Anita, untuk menanggapi segala perkataan Celin. Ia hanya mengamati kedua orang itu berlalu dari balik kaca mata hitam, hingga mereka semakin menjauh, melangkah meninggalkan area pemakaman.

Namun, kata-kata Gadis Muda itu terus terngiang, memenuhi pikiran Anita.

“Apa maksud gadis itu? Mengapa dia berkata, bahwa akulah penyebab dari meninggalnya Andra?” tanya Anita dalam hati.

***


S

iang itu, Anita sudah duduk berhadapan dengan Pak Arif, di kantor percetakan miliknya. Pak Arif adalah seorang anggota kepolisian yang menangani kasus kecelakaan yang dialami oleh Andra.

“Bu, apakah anda kenal dengan seseorang yang bernama Celin?” tanya Pak Arif.

“Celin?”

“Iya, Celin. Soalnya, saya menemukan beberapa chat di ponsel korban, beberapa jam sebelum terjadinya kecelakaan. Di riwayat panggilan juga ada beberapa panggilan tak terjawab dari seseorang yang bernama Celin, beberapa saat sebelum kecelakaan terjadi.”

“Sebentar, Pak. Sepertinya, saya pernah mendengar nama Celin. Celin … Celin ….” Anita berusaha mengingat-ingat untuk sesaat.

“Oh, iya, Pak. Saya ingat. Celin adalah teman perempuan Andra. Dia … dia adalah pacarnya.” Anita berkata dengan ragu.

“Pacar?” Pak Arif tampak sedikit bingung.

“Apakah korban …, adalah seorang lesbian?” lanjut Pak Arif, bertanya dengan alis yang sedikit bertaut.

Anita menghela napas sesaat. Berat rasanya, menceritakan sisi kelam seseorang yang sudah meninggal. Apalagi, orang itu pernah mempunyai suatu ikatan emosional dengannya. Tapi apa mau dikata, Anita harus mengatakan segalanya dengan jujur, demi terungkapnya sebuah kebenaran.

“Hhhh … iya, Pak. Almarhumah adalah seorang penyuka sesama jenis.”Anita menghela napas sesaat, sambil berkata dengan lirih. Matanya terlihat mulai berkaca-kaca.

Pak Arif mengangguk-angguk, sembari memainkan jemari tangan di dagunya yang berjanggut.

“Sepertinya, saya akan bisa segera mengungkap kasus ini,” ucapnya dengan mantap.

“Baguslah kalau begitu,” sahut Anita pelan.

“Baiklah, Bu Anita. Terima kasih banyak atas segala keterangannya. Ponsel almarhumah, sementara masih saya bawa, karena masih digunakan dalam proses penyelidikan. Sewaktu-waktu saya akan menghubungi ibu lagi, apabila memerlukan keterangan lebih lanjut.” Setelah menyelesaikan kalimatnya, Pak Arif segera bangkit dari duduknya, lalu mengulurkan tangan untuk menyalami Anita. Mereka saling berjabat untuk beberapa detik, hingga kemudian Pak Arif melangkah keluar dari ruangan.

Anita masih duduk termenung di kursi ruang kerjanya. Pikirannya masih dipenuhi segala perkataan dan pertanyaan Pak Arif. Apakah mungkin, Celin terlibat dalam peristiwa kecelakaan itu? Mengapa Pak Arif sangat ingin tahu perihal Celin?

Anita sendiri tak pernah menduga, kalau Celin telah beberapa kali menelepon Andra sesaat sebelum gadis itu mengalami kecelakaan.

Padahal, saat itu Andra selalu bersama dengan dirinya, hingga kecelakaan itu terjadi. Bagaimana mungkin, ia tidak pernah tahu bahwa Andra mendapatkan telepon dari Celin?

Ia juga tidak pernah membuka chat atau pesan di ponsel Andra, walaupun ia sempat membawa benda itu selama sehari semalam.

Anita hanya meletakannya begitu saja di dalam tas ransel abu-abu milik Andra. Hingga ia memberikannya pada Pak Arif untuk proses penyelidikan beberapa hari yang lalu.

T

iba-tiba, ia jadi teringat dengan kata-kata Celin, ketika mereka bertemu di pemakaman beberapa hari yang lalu. Celin berkata, bahwa Anita-lah penyebab dari meninggalnya Andra.

“Apakah itu memang saling berkaitan?” bisiknya dalam hati.

*****

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang