Sore itu, Andra sudah bersiap-siap akan pulang. Dia sudah berada di teras kantor percetakan dan akan menghidupkan motornya, ketika tiba-tiba Anita memanggil.
“Ndra. Kamu langsung pulang?” tanya Anita kemudian.
“Ehm … iya Bu, saya langsung pulang. Memangnya ada apa?” Andra menjawab dengan gamang.
Sebenarnya, sore ini dia ada janji dengan Celin. Tapi tentu saja, dia tidak ingin mengatakan hal itu pada Anita.
“Kalau memang kamu nggak ada urusan, aku akan memintamu menemaniku ke salon. Aku lihat, rambutmu juga perlu dirapikan.” Anita mengajukan tawaran.
“Oh, begitu. Baiklah, Bu. Kita langsung berangkat saja, ya. Motor saya biar di sini dulu. Nanti pulang dari salon, kita mampir ke sini buat ambil motor.”
Andra seolah ingin meloncat kegirangan, karena Anita memintanya menemani ke salon. Ia selalu merasa senang melihat Anita yang sedang menikmati pijatan creambath di salon. Ada sensasi rasa yang membuat jantungnya menderu, saat ia melihat Anita dari sudut matanya.
Tak lama, mereka berdua sudah melaju di jalanan kota yang sibuk dengan mobil Anita sore itu. Selang dua puluh menit berlalu, mereka pun tiba di salon langganan Anita.
Suasana di salon lumayan sepi senja itu. Hanya ada satu pelanggan yang sedang di pangkas rambutnya, selain mereka berdua.
Anita dan Andra segera di sambut oleh dua orang kapster, yang langsung membawa mereka menuju bak keramas. Tak berapa lama, keduanya sudah menikmati guyuran air yang dingin di kepala. Terasa sangat nyaman dan menyegarkan, di sore hari yang panas seperti ini.
Setelah keramas, seperti biasa, Anita segera mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Andra. Anita mulai menikmati pijatan creambath di kepala, lalu selanjutnya di bahu.
Andra selalu mengamati setiap prosesnya, dari pantulan kaca cermin tanpa diketahui oleh Anita.
Sang kapster sendiri mulai memotong rambut Andra. Kemudian memberikan warna sesuai dengan instruksi dari Anita. Andra hanya duduk diam dan menurut.
Setelah hampir dua jam berada di salon, mereka berdua segera pulang, tak lupa mampir di kantor untuk mengambil motor Andra.
Tak berapa lama, Andra sudah terlihat turun dari mobil Anita, lalu segera bergegas mengambil motor, setelah pintu pagar dibuka kuncinya oleh Anita.
“Saya pulang dulu ya, Bu,” ucapnya sambil bersiap melajukan motor.
“Iya. Hati-hati di jalan, ya.” Anita menjawab sambil melambaikan tangan.
Beberapa detik kemudian, Andra sudah meluncur dan menghilang dari pandangan Anita yang masih disibukkan dengan aktivitas mengunci pagar kantor.
Anita baru saja akan melangkah menuju pintu mobilnya, ketika tiba-tiba terdengar suara keras, disusul dengan teriakan beberapa orang dari arah jalanan yang ramai.
Braaakkk!!!
Ciiittt !!!
Bruuuaaakkk!!!
Anita seketika langsung menoleh ke arah datangnya suara. Beberapa orang terlihat sibuk mengatur lalu lalang kendaraan yang sempat terhambat.
‘Sepertinya ada kecelakaan,’ batin Anita.
Ia akhirnya mengurungkan niat untuk membuka pintu mobil, dan segera melangkah menuju kerumunan orang yang berjarak beberapa ratus meter dari tempatnya berdiri.
Dengan setengah berlari, Anita pun tiba di kerumunan orang yang mengelilingi korban kecelakaan. Susah payah, dirinya berusaha menyeruak diantara orang-orang yang mengerumuni korban.
“Kecelakaan ya, Pak?” tanya Anita pada seorang lelaki paruh baya yang berdiri di dekatnya.
“Iya, Bu. Sepertinya tabrak lari. Kasihan, Bu. Mana korbannya masih muda, lagi,” kata sang bapak.
“Parah ya, Pak?” tanya Anita lagi.
“Sepertinya begitu, Bu. Kepalanya banyak mengeluarkan darah. Entah bisa tertolong atau tidak.”
“Sudah ada yang lapor polisi? Atau panggil ambulance?” Anita masih mencoba bertanya dengan perasaan kalut.
“Katanya sih, tadi sudah ada yang menghubungi polisi. Tapi nggak tahu juga, polisinya belum kelihatan.”
Mendadak, perasaan Anita dipenuhi oleh kengerian, karena cerita dari sang bapak. Dia masih berusaha mencari jalan untuk bisa mendekati korban yang saat ini telah dihalangi oleh kerumunan orang.
Setelah beberapa detik berusaha, akhirnya ia pun bisa menjulurkan kepala, hingga dirinya dapat melihat seseorang yang tergeletak di aspal jalan, dengan darah yang terus merembes dari bagian kepala.
Korbannya bertubuh kecil, memakai jaket dan celana jeans. Anita tidak bisa melihat wajahnya terlalu jelas, karena kegelapan malam dan cahaya lampu jalan hanya remang-remang menerangi.
Sejenak, dia terpaku pada jaket yang dipakai si korban, serta motornya yang masih tergeletak tak jauh dari tubuh korban. Anita berusaha mengamati dengan cermat jaket itu, dan sepertinya … dia pernah melihatnya.
Semua seperti tidak asing baginya.
Anita semakin berusaha maju, menyingkirkan orang-orang yang berkerumun. Hingga beberapa detik kemudian, dia sudah berhasil maju dan berdiri di dekat korban.
Dan jelaslah sudah … yang tergeletak di hadapannya adalah sosok yang sangat dikenalnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Sang Editor (Tamat)
RomanceFollow dulu sebelum baca ya... Cerita ini makin seru lho, nggak nyangka bisa masuk peringkat ke 6 di wattpad novel 🌸🌸🌸 Anita adalah seorang wanita lajang berusia 27 tahun, pemilik sebuah usaha percetakan warisan dari S...