Bab 27 Berpamitan

21 1 0
                                    


“Bu Anita. Bu Anita!”

Anita sedikit memicingkan mata, mencoba melihat dengan saksama, sesosok bayangan yang berada di hadapannya, dan sedang memanggil-manggil namanya.

Sebuah tubuh semampai berdiri di antara cahaya putih yang berpendar. Anita menatap lekat, pada sosok yang sudah sangat dikenalnya.

“Andra! Kau kah, itu?” gumam Anita, seraya mengucek mata, yang sepertinya sulit untuk bisa melihat dengan jelas.

Bayangan itu, mirip dengan sosok Andra, begitu pula suaranya. Namun, Anita seperti sulit untuk melihatnya dengan jelas, ataupun meraih tubuh yang sedang berdiri di hadapannya. Padahal, sosok itu berdiri, tak berapa jauh dari posisinya.

“Iya, Bu. Ini saya.”

“Andra. Kau dari mana saja? Sepertinya, sudah lama aku tidak melihatmu di kantor.” Anita berkata, sambil berusaha menyentuh sosok di hadapannya.

“Bu, saya mau pamit. Saya akan pergi, sekarang. Maafkan saya, kalau saya pernah berbuat salah pada ibu. Ibu harus segera mencari editor baru untuk menggantikan saya.” Andra masih bergeming di posisinya.

“Tapi, Ndra. Kamu mau pergi kemana?”

“Saya mau pergi ke tempat nenek, Bu. Bu Anita jaga diri, ya. Hiduplah dengan bahagia. Maafkan, saya tidak bisa hadir di hari pernikahan ibu dan Pak Raka.” Andra menjawab, sembari melambaikan tangan kepada Anita.

“Ndra! Tunggu, Ndra …! Tunggu …!” teriak Anita.

Dia bergerak maju, berusaha meraih dan menggapai sosok Andra yang semakin menjauh. Lalu tiba-tiba … .

“Nak! Nak, Anita! Bangun, Nak! Bangun!”

Tiba-tiba, Anita merasa, ada yang mengguncang-guncang tubuhnya. Sekejap kemudian, ia berusaha membuka mata yang masih terasa berat.

Terlihat Bu Siti sudah berada di sisi tempat tidurnya. Tangan Bu Siti masih memegangi pundak Anita.

“Nak! Bangun, Nak! Nak Anita mimpi apa? Kok sampai ngelindur begitu?” tanya Bu Siti dengan wajah sedikit gusar.

Uwh … Bu Siti.” Anita menjawab dengan suara parau, sesaat setelah matanya terbuka.

“Iya, Nak. Bu Siti mendengar, kamu mengigau. Padahal, baru lima belas menit yang lalu,  kamu masuk kamar. Pasti kamu sedang merasa sangat lelah,” ucap wanita sepuh itu.

Anita langsung melirik jam yang ada di dinding kamar. Masih jam 22.15.

Benar kata Bu Siti, dirinya baru saja beranjak tidur pukul sepuluh malam. Dan itu, masih lima belas menit berselang. Tapi dia sudah bermimpi.

Mimpi itu seperti nyata adanya. Dia baru saja bertemu dengan Andra, dan dia berpamitan pada Anita. Anita menarik napas panjang, lalu mengusap wajahnya sejenak.

“Kamu mimpi apa, Nak?” Kembali Bu Siti bertanya.

“Aku … aku mimpi bertemu dengan seorang teman, Bu. Dan temanku itu sudah meninggal, hampir dua bulan yang lalu.”

“Oh …, begitu, ya. Terkadang, orang-orang yang sudah meninggal pun masih ingin berkomunikasi dengan kita. Biasanya, salah satu caranya, ya lewat mimpi itu.” Bu Siti menjelaskan dengan singkat.

“Begitu, ya, Bu.” Anita mengangguk kecil, sambil memandang ke arah Bu Siti.

“Iya. Dulu, waktu awal-awal suami ibu meninggal, ibu seringkali berkomunikasi lewat mimpi dengannya. Pernah suatu ketika, suami ibu menyuruh ibu untuk mengunjungi kakaknya yang tinggal di luar kota. Dan setelah saya ke sana, ternyata, kakaknya sedang sakit dan sedang dirawat di rumah sakit. Begitulah, terkadang mereka berusaha memberitahu kita tentang suatu hal lewat mimpi,” ujar Bu Siti.

“Begitukah …?” Anita berkata lirih, sambil pandangannya menerawang jauh, mengingat-ingat mimpi yang baru saja dialaminya.

***

Siang itu, Raka mengunjungi Anita di kantornya.

“Bagaimana kondisimu, An? Aku harap, kau akan lebih baik setelah bertemu dan berbicara dengan Ratna.”

“Iya, Ka. Aku merasa sedikit lebih tenang, setelah bertemu dengan Ratna. Terima kasih, kau telah menghubungi Ratna dan memintanya untuk menemuiku.” Anita tersenyum, sambil telapak tangannya mengusap punggung tangan sang tunangan.

“Syukurlah! Aku lega mendengarnya. Aku tahu, kau butuh teman untuk bercerita. Tidak semua hal akan terasa nyaman, bila kau bagi denganku,” ucap Raka dengan maklum.

“Aku hanya ingin, kau bisa segera melupakan kesedihanmu karena kehilangan Andra, dan mulai fokus pada rencana pernikahan kita. Aku juga tidak menyangka, kau bisa sesedih itu setelah Andra meninggal,” lanjut Raka.

Anita menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sembari menarik napas panjang.

“Iya, Ka. Aku juga tidak menyangka, bisa sesedih ini. Rasanya …, seperti kehilangan seorang saudara perempuan.” Anita berujar pelan.

“Sedekat itukah kalian?” Raka mengurai tanya, sambil menatap Anita dengan sepasang mata teduhnya.

“Iya. Aku sudah menganggapnya sebagai adikku. Dia sudah membagi banyak cerita, tentang kepedihan hidupnya denganku. Aku seperti bisa ikut merasakan kepedihan itu. Namun ternyata …, dia menyimpan sedikit rasa yang berbeda padaku.” Anita berucap lirih.

“Maksudmu …?” Raka menggantung pertanyaannya, sedikit takut, bila perkataannya nanti akan menyinggung Anita.

“Dia …, ternyata ..., Andra menyimpan rasa cinta untukku. Perasaan cinta layaknya pada seorang kekasih.”

Raka terdiam sejenak. Manik matanya sedikit membulat, memandang lurus pada wajah anggun di hadapannya.

“Dan perasaan cintanya itulah …, yang akhirnya membuat nyawanya terenggut. Celin menabraknya sore itu, karena dia tahu, bahwa Andra menyimpan rasa padaku. Menurut Celin, Andra telah mengabaikan janjinya untuk bertemu dengan Celin sore itu, dan lebih memilih menemaniku ke salon.” Anita bertutur panjang lebar.

“Karena itukah, kau diliputi kesedihan yang berlarut-larut?” Raka bertanya, sambil menggenggam erat telapak tangan tirus milik Anita.

“Iya.” Anita menjawab pendek.  Sepasang netranya kembali berkaca.

Raka sendiri membisu. Sejenak, suasana di ruangan yang tidak terlalu luas itu diliputi keheningan.

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Raka sendiri, seakan masih belum bisa percaya, bahwa Andra ternyata mencintai Anita. Dan hanya gara-gara perasaan cintanya, bisa membuat gadis muda itu meninggal di usia belia.

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang