Bab 7 Bu Dhe Har Sakit

46 12 64
                                    

Pov Andra

Tanpa terasa, sebulan telah berlalu. Pak Husni, seorang perangkat desa yang aku mintai tolong untuk menguruskan KTP-ku, kemarin menghubungi. Beliau mengatakan,  bahwa KTP-nya sudah selesai dan bisa diambil sewaktu-waktu.

Hari minggu ini, aku memutuskan untuk mengambil KTP di rumah pak Husni. Matahari sudah tinggi, ketika aku keluar dari rumah pak Husni.

Segera ku lajukan motor menuju kediaman Bu Dhe Har. Entah kenapa, aku sangat ingin mengunjunginya akhir-akhir ini, setelah pertemuan terakhir kami satu bulan yang lalu.

Tubuhnya yang terlihat semakin kurus, membuatku selalu memikirkannya. Aku sangat takut Bu Dhe Har sakit, atau terjadi sesuatu hal yang buruk padanya. Karena semenjak nenek meninggal, Bu Dhe Har-lah yang aku anggap sebagai pengganti sosok ibu yang sudah sejak lama tidak aku rasakan kehadirannya.

Suasana rumah Bu Dhe Har siang itu terlihat sepi. Pintu rumahnya tertutup rapat. Pikiranku merenda seribu tanya. Tidak biasanya, Bu Dhe Har menutup pintu rumah sesiang ini. Tanganku mengetuk pintu perlahan.

Tok! Tok! Tok!

Assalamualaikum. Bu Dhe …!” teriakku dari depan pintu rumah.

Tak berapa lama menunggu, terlihat seseorang membuka daun pintu. Mbak Wiwik, anak bungsu Bu Dhe Har tampak berdiri di depanku.

Oh, ternyata kamu Ndra,” katanya dengan raut wajah yang menunjukkan rasa tidak suka.

“Iya, Mbak. Bu Dhe Har kemana, Mbak?” tanyaku kemudian.

“Ada. Ibu lagi istirahat di kamar. Tiga hari yang lalu, ibu baru saja pulang dari rumah sakit.” Mbak Wiwik menjelaskan sambil melangkah kembali ke dalam rumah.

“Apa? Bu Dhe sakit? Ya ampun, Mbak! Kok nggak ada yang ngabarin aku, ya?” kataku sambil berjalan masuk menuju kamar Bu Dhe.

Dengan hati-hati, ku buka pintu kamar. Terlihat seorang perempuan renta tergolek di atas tempat tidur dengan mata terpejam. Tubuhnya terlihat kurus dan tak bertenaga. Napasnya terdengar berhembus halus berirama.

Aku berusaha membendung air mata yang bersiap-siap meluncur turun dari kelopak mata. Perasaan sedih segera menguasaiku, melihat kondisi Bu Dhe Har saat ini. Pantas saja, dari beberapa hari yang lalu, aku selalu kepikiran tentang Bu Dhe.

Ternyata, Bu Dhe sakit sampai harus opname. Tapi tak ada seorang pun yang sudi memberikan kabar kepadaku. Bahkan Mbak Wiwik pun, juga tak mengabariku. Mungkin, memang aku sudah tidak dianggap oleh sebagian besar keluargaku.

Sebuah rasa perih terasa menyayat hatiku. 

Aku duduk di sebuah kursi, di samping tempat tidur Bu Dhe Har. Lama aku memandangi wajahnya yang dipenuhi keriput dengan tonjolan tulang pipi dan rahangnya yang terlihat jelas. Pikiranku melayang, mengingat saat-saat terakhir nenekku, sebelum beliau meninggal.

Sakit yang dideritanya juga sama dengan Bu Dhe Har. Asma.

Hatiku sangat sedih, aku semakin ketakutan, khawatir kalau-kalau hal buruk yang menimpa nenekku sewindu yang lalu, juga akan dialami oleh Bu Dhe Har.

Air bening meluncur dari kelopak mataku. Kini, tak bisa lagi aku bendung. Aku sangatlah takut kehilangan Bu Dhe Har.

Di keluargaku, hanya beliaulah yang masih menganggapku ada. Masih menganggapku sebagai manusia normal, walau sebenarnya banyak yang mengatakan bahwa aku ini abnormal.

Sesungguhnyalah, aku juga tidak ingin menjadi diriku yang sekarang. Menjadi seseorang yang tidak normal menurut orang kebanyakan. Hanya karena aku lebih nyaman menjalin asmara dengan perempuan, di bandingkan laki-laki.

Kebencianku pada sosok Ayah, dan kematian Rio yang mendadak waktu itu, membuatku semakin tidak suka dan tidak ingin menjalin hubungan dengan laki-laki. Aku tidak ingin menggantungkan harapan apapun pada seorang lelaki.

Dan kelembutan dari para perempuan yang menjadi kekasihku, membuatku merasa lebih nyaman. Aku semakin jatuh cinta dengan perempuan.

Sudah hampir satu jam aku duduk di samping tempat tidur Bu Dhe Har. Terlihat tangannya bergerak, dan perlahan-lahan matanya terbuka. Dia menoleh ke arahku. Lalu memandangiku untuk beberapa detik.

Aku beranjak mengelus tangan wanita sepuh di hadapanku, dengan lembut. Dia tersenyum seraya berkata, “Ndra, kamu di sini rupanya. Kenapa kamu nangis? Andra itu bukan gadis cengeng yang suka menangis. Iya, kan?”

Sontak saja, telapak tanganku segera mengusap buliran bening yang terus saja membanjiri pipi. Aku mencoba tersenyum sambil mengangguk.

Lidahku kelu, masih belum mampu merangkai kata. Hanya kesedihan yang membuncah, membuat air mata ini menganak sungai tak terbendung.

Bu Dhe sakit, kenapa aku nggak dikabari?” kataku kemudian sambil terisak.

Bu Dhe yang melarang, Ndra. Kamu kan baru saja dapat pekerjaan bagus, nggak enak kalau kamu harus izin tidak masuk kerja untuk menunggui Bu Dhe."

“Aku kan nggak perlu izin untuk menunggui Bu Dhe. Aku bisa menunggu Bu Dhe setelah pulang kerja. Dan kembali masuk kerja keesokan harinya,” protesku.

Bu Dhe hanya menggeleng.

“Tidak usah, Ndra. Kasihan kamu kalau harus bolak balik ke rumah sakit. Sudah, sekarang Bu Dhe tidak apa-apa. Paling juga tiga hari lagi sudah bisa jalan-jalan seperti biasa. Kamu tadi sudah mampir ke rumah?”

“Belum, Bu Dhe. Andra lagi nggak pengen pulang ke rumah.” Aku berkata sambil menunduk.

Bu Dhe hanya terdiam seraya menarik napas panjang.

Hhhhh … ayahmu  itu Ndra, susah sekali disuruh berubah,” keluhnya pelan.

“Sudahlah  Bu Dhe. Biarkan saja. Bu Dhe tidak usah terlalu memikirkan Ayah. Pasti Bu Dhe sakit gara-gara memikirkan Ayah.” Aku kembali protes.

Gimana nggak mikir, Ndra. Ayahmu itu saudara Bu Dhe satu-satunya. Adik Bu Dhe satu-satunya. Kalau adikku nggak bisa jadi orang baik, Bu Dhe-mu ini merasa menjadi orang yang gagal memegang amanah nenek.”

“Ayahmu bermaksud menjual sebagian tanah warisan nenekmu, Ndra,” lanjutnya.

“Apa? Tanah yang mana, Bu Dhe?” tanyaku dengan terkejut.

“Awalnya, ayahmu ingin menjual tanah persawahan yang terletak di barat desa. Tapi tanah itu masih atas nama nenekmu. Dan tanah itu masih hak waris Bu Dhe dan ayahmu. Bu Dhe nggak pernah ingin menjual tanah itu, Ndra. Tapi ayahmu memaksa. Seminggu yang lalu, dia datang kesini dan marah-marah sama Bu Dhe.” Bu Dhe Har tidak melanjutkan ceritanya. Dia terisak, seiring dua bulir bening meluncur dari sudut matanya yang menua.

Aku mengepalkan telapak tangan. Mendadak kemarahan menguasai seluruh jiwaku. Rasa benci yang semakin menjadi muncul kembali, saat Bu Dhe Har bercerita tentang laki-laki yang ku sebut Ayah.

Ternyata, dia-lah yang menyebabkan Bu Dhe Har jatuh sakit.
Dia-lah yang telah merenggut semua kebahagiaan dalam hidupku. Dia yang menyebabkan ibu meninggalkan rumah, dan memisahkan aku dari orang yang telah melahirkanku.

Nenek juga meninggal karena terus-terusan sedih melihat perlakuan kasarnya terhadapku, dan kebiasaannya main perempuan.
Aku semakin membencinya. Membenci Ayahku sendiri.

Dendamku semakin dalam padanya. Ingin sekali aku menghabisinya, agar sakit hatiku selama tujuh belas tahun tuntas.

Menjelang sore, aku kembali ke kosan dengan perasaan kalut. Sesampainya di sana, segera ku rebahkan tubuhku di atas kasur, ditemani sebatang rokok yang ku hirup dalam-dalam. Sambil mencoba berdamai dengan segala kebencian dan kesedihan yang berkecamuk menjadi satu.

***

Terima kasih telah membaca.

Ditunggu komen dan votenya.

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang