Bab 22 Surat Terakhir

15 0 0
                                    


Anita menggeliat, lalu perlahan merentangkan kedua tangan, menggerakkan kepala serta lehernya ke kanan dan ke kiri, untuk meregangkan otot yang terasa pegal.

Tidur dengan posisi duduk dan kepala bertumpu pada lengan di pinggir pembaringan, membuat badan Anita terasa sedikit sakit.

Ia menguap perlahan, sambil mengerjap-ngerjapkan kedua mata yang masih enggan terbuka.

Pandangannya langsung tertuju pada sosok tubuh gadis muda yang masih tergolek lemah tak bergerak di tempat tidur.

Dia memandangi Andra yang masih bergeming dengan mata tertutup rapat. Wajahnya terlihat tenang dan bersih, dalam keremangan temaram cahaya lampu tidur kamar rawat.

Menurutnya, Andra tampak cantik saat ini.

Anita kembali teringat, saat ia memuji Andra beberapa hari yang lalu. Entah kenapa, gadis itu terlihat tidak suka dengan pujian yang Anita ucapkan.

Menurutnya sangat aneh, mendapati  seorang gadis yang merasa tidak senang saat dipuji cantik.

Tangan Anita perlahan bergerak,  menggenggam telapak tangan Andra yang berada di sisi tempat tidur. Tangannya terasa sangat dingin.

Mendadak, dada Anita berdesir perlahan. Suatu perasaan cemas menjalari pikirannya. Bayangan tentang hal-hal buruk mengenai kondisi Andra, tiba-tiba memenuhi kepalanya.

Sedetik kemudian, Anita bergerak meraba leher Andra. Lehernya juga sama, terasa dingin. Lalu dengan perasaan kalut, dirinya segera menyingkap selimut yang menutupi kaki Andra.

Anita menyentuhnya, begitu selimut terbuka. Kaki itu terlihat sangat pucat, dan terasa sangat dingin.

“Oh …, ada apa ini? Mengapa seperti ini?” Anita sangat cemas.

Dia masih ingat betul, kondisi almarhumah ibunya, tubuhnya juga seperti ini, saat Anita memandikan jenazahnya.

Dengan sigap, dirinya pun segera memeriksa napas dari lubang hidung Andra, serta denyut nadi di pergelangan tangan. Ia juga meraba nadi di sekitar leher bagian atas.

Dan …, semuanya persis seperti apa yang ditakutkannya. Andra telah tiada.

Anita tergugu di samping tubuh kaku sang editor muda, dengan isak tangis yang tertahan.

“Mengapa …, mengapa kau pergi secepat ini. Seharusnya kau tidak boleh pergi. Seharusnya kau sembuh, Ndra! Andra …, bangun Ndra …! Kau tidak boleh pergi Andra …!” Anita bergumam di antara isak tangis yang semakin kencang, sembari mengoyang-goyang tubuh dingin di sisinya.

Sedu sedannya semakin keras, seiring dengan tubuhnya yang berguncang-guncang dengan kepala direbahkan pada sisi tubuh Andra.

Raka yang sedang tidur di sofa pun, akhirnya terbangun, manakala mendengar suara sedu sedan Anita. Dia segera bangkit dengan tubuh berat dan mata yang enggan terbuka, lalu melangkah menghampiri Anita yang masih menangis.

“An, ada apa, An?” tanya Raka dengan raut wajah yang dipenuhi tanda tanya dan kecemasan.

“Andra, Ka. Andra ….” Anita tak lagi mampu meneruskan ucapannya. Dia segera menghambur ke dalam pelukan Raka, sambil terus menangis.

“An, kenapa dengan Andra? Tenanglah, An.”

Tanpa banyak bertanya, Raka segera memeriksa tubuh Andra. Ia hanya bisa menarik napas panjang, manakala mendapati gadis muda itu sudah tidak bernapas.

“Kita harus segera menemui perawat jaga, An.”

“Kau duduk saja di sini, biar aku yang keluar mencari perawat di ruang jaga,” lanjut Raka, yang kemudian melangkah keluar dari kamar.

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang