Bab 28 Kau Milikku Selamanya!

57 1 0
                                    


PoV Celin

“Kau tampak kacau. Apa yang terjadi?” tanyaku sambil membungkukkan badan di hadapannya. Ia masih terdiam dan menghirup rokok dengan tenang.

“Tadi laki-laki itu datang ke sini. Kami ribut, lalu dia memukul wajahku,” katanya dengan suara parau.

“Ah …!“ Aku hanya menghela napas dan mengamati pipi kanannya yang masih memerah.

Perlahan, aku mengusap pipinya dengan lembut. Sangat sedih melihatnya seperti itu. Seakan, aku bisa ikut merasakan, segala rasa sakitnya.

Kami sudah saling mengenal cukup lama. Ia gadis yang pendiam, tapi berhati baik.

Di komunitas, kami pertama kali bertemu. Karena aku adalah anggota komunitas termuda, aku seringkali tidak punya teman ngobrol yang membuatku nyaman.

Entah kenapa, aku langsung merasa nyaman, sejak pertama kenal dan berbicara dengannya.

Namanya Andra. Ia berumur dua puluh dua tahun ketika kami pertama kali bertemu. Ia berpenampilan mirip sekali dengan laki-laki.

Aku sempat terkecoh saat pertama melihatnya. Tapi ketika kami mulai berbicara, suaranya sedikit lembut seperti suara seorang gadis.

Dan suatu saat, secara sengaja aku memeluknya dari belakang. Untuk menyatakan perasaanku, sekaligus membuktikan, bahwa ia seorang perempuan, seperti yang aku duga selama ini.

Ia sangat terkejut waktu itu. Apalagi,  saat tanpa sengaja tanganku menyenggol gundukan di bagian dadanya, yang selama ini berusaha disembunyikannya.

Aku tahu ini gila! Karena aku mencintai seorang perempuan.

Namun, perasaan itu tidak bisa aku tolak. Semakin hari, semakin aku nyaman bersamanya. Aku selalu rindu untuk selalu bertemu dan berada di dekatnya.

Ia tidak pernah menyatakan suka padaku, tapi dari perhatian dan sikapnya, aku tahu bahwa dirinya tidak menolak perasaanku.

Karena kami sama. Sama-sama selalu disakiti dan disingkirkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayangi kami.

Kami sama. Sama-sama membenci laki-laki. Terutama ayahnya.

“Kenapa dia ke sini? Apa dia meminta uang padamu?” tanyaku lagi. Sekarang, aku sudah duduk berhadapan dengannya di lantai kamar.

“Lelaki itu mengambil Kartu Keluarga yang aku bawa sejak sebulan yang lalu. Ia mau menjual tanah peninggalan nenekku. Kami beda pendapat. Bu Dhe Har baru saja meninggal beberapa hari yang lalu. Dan itu semua gara-gara lelaki itu.”

Bu Dhe Har meninggal? Ndra, kenapa kau tidak memberitahuku tentang hal sepenting itu?” Aku langsung mengajukan pertanyaan, begitu dia selesai bercerita.

“Maaf. Aku sangat sibuk akhir-akhir ini. Karena itu, aku tidak sempat menghubungimu,” jawabnya.

Tapi aku tahu, dia hanya beralasan saja. Akhir-akhir ini, dia jarang sekali memperhatikanku. Pesan-pesan yang aku kirim juga jarang sekali dibalasnya.

Aku pun mulai curiga, Andra mulai tertarik pada orang lain. Dan aku sudah bisa menduga, siapa orang itu.

“Kondisimu terlihat sangat kacau. Bagaimana kalau kita pergi ke kafé sekarang? Kau akan sedikit terhibur di sana. Lagipula, kau sudah lama tidak muncul di komunitas akhir-akhir ini. Maya menanyakannya padaku. Terakhir kali aku ke sana, aku juga tidak melihatmu.” Aku berusaha mengajaknya. Ia terdiam sesaat. Tapi kemudian, menerima ajakanku.

***

Braakk!!

Aku membanting tas ranselku ke atas meja. Menimbulkan suara keras yang mungkin terdengar sampai ke luar kamar kos Andra.

“Celin, hentikan! Lalu mau kamu apa? Datang-datang langsung marah, aja.” Andra terdengar mencoba berbicara.

“Ya, tentu saja aku marah! Aku ini masih pacar kamu. Wajar 'kan, kalau aku marah. Karena sekarang, kamu lebih suka menghabiskan waktu dengan wanita itu daripada bersamaku. Hampir satu bulan ini, kamu mengacuhkan aku. Kau tidak pernah lagi membalas pesan atau menjawab teleponku. Kata teman-teman, kau juga sudah tidak pernah lagi datang ke kafé. Kau sekarang berubah, Ndra!” Aku berbicara dengan nada tinggi, dengan perasaan yang diliputi amarah.

“Celin, aku sibuk di percetakan akhir-akhir ini. Orderan banyak. Jadi aku juga harus mengerjakan desain agar selesai tepat waktu.” Andra mencoba mengurai penjelasannya.

“Ah …, itu hanya alasanmu saja. Aku melihatmu bersama wanita itu, di food center dekat percetakan satu minggu yang lalu. Kalian ngobrol lama di sana. Padahal, waktu itu aku berkali-kali menelepon dan tidak pernah kau jawab,” tukasku sengit.

“Kami hanya pergi makan siang, Celin.” Dia kembali mencoba meyakinkan aku dengan argumennya.

“Kau jangan bohong! Kau pasti ada hubungan dengan wanita itu.” Aku masih berbicara dengan nada tinggi.

“Itu tidak mungkin, Celin! Ia itu wanita normal, tidak seperti kita. Lagipula … dia sudah bertunangan beberapa hari yang lalu.” Andra masih berusaha memberi alibi.

“Oh, ya? Apakah benar, kau masih mencintaiku?” tanyaku. Aku bergerak mendekatinya, hingga wajahku kini hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya.

Aku menatap tajam pada sepasang mata kecil di balik kacamata.

Perlahan, aku terus saja bergerak mendekatkan wajah dan berusaha mencium bibirnya yang terkatup rapat.

Aku tidak peduli dengan sikap Andra yang beringsut perlahan, berusaha menjauhi sentuhan bibirku yang menebarkan bau alkohol.

“Celin, kau mabuk, ya? Duduklah, agar kita bisa bicara dengan tenang.” Tangan Andra bergerak pelan, menjauhkan wajahku dari dirinya, kemudian membimbing tubuhku yang sempoyongan, untuk duduk di hadapannya.

“Celin, kau sudah lama mengenalku, kan? Aku tidak akan mungkin berhubungan dengan Bu Anita. Ia akan segera menikah, dan ia adalah wanita normal. Yang kupunya hanyalah kamu. Kau tahu itu, 'kan?” Andra mengusap rambut panjangku dengan lembut. Ah, aku selalu saja suka dengan sentuhannya.

Perlahan, aku pun mulai tenang. Kuraih sebatang rokok dari dalam bungkusnya, yang sejak tadi tergeletak di dekat kami, lalu kemudian menyulutnya.

“Awas ya, kalau kau sampai menghianatiku. Aku tidak akan melepaskanmu. Kalau aku tidak bisa memilikimu, maka orang lain juga tidak. Kau hanya milikku selamanya! Kita hanya akan dipisahkan oleh kematian.” Aku berujar dengan nada tajam, sambil menghembuskan asap rokok ke wajah Andra.

***

‘Jangan lupa, Ndra. Hari ini tepat satu tahun hubungan kita. Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama. Nanti sore selepas kerja, jemput aku, ya.’

Aku mengirim pesan pada Andra, begitu aku selesai mengetiknya.

Pesan terkirim. Lima belas menit kemudian, barulah terbaca. Namun, tidak langsung dibalasnya.

Ndra. Andra. Kamu ingat kan, hari ini anniversary hubungan kita?’ Aku kembali mengirim pesan. Hanya di baca, tanpa ada balasan.

Sekejap kemudian, aku berusaha menghubungi nomornya. Beberapa kali panggilan dariku berlangsung. Namun tetap saja, Andra tidak mau menjawabnya.

Aku mulai meradang. Kuulangi lagi melakukan panggilan hingga berkali-kali. Sampai akhirnya, ia mengirimkan pesan balasan.

‘Iya. Nanti sore aku jemput. Maaf, aku sedang sibuk sekarang.’

Aku membacanya, lalu melemparkan benda pipih itu ke atas kasur dengan perasaan marah. Ia sudah berubah. Benar-benar berubah!

Aku merasa, ia seolah ingin menjauh dariku. Tapi kenapa? Apa salahku padanya? Hingga ia bersikap seperti itu padaku, orang yang selalu mencintainya.

Kupukul-pukul bantal di atas kasur dengan perasaan kacau. Hatiku sakit, karena ia telah mengabaikanku.

Aku tidak rela, perhatiannya padaku berubah. Aku tidak rela, perasaannya padaku berubah.

Aku mencintainya, sangat mencintainya! Dan ia pun, harus selalu begitu!

***

Rahasia Sang Editor (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang