Malam ini Anita memenuhi ajakan Raka untuk makan di luar. Sebenarnya tidak ada hal istimewa, mereka hanya menghabiskan waktu bersama sambil makan nasi goreng di warung kaki lima. Tapi itu sudah merupakan suatu hiburan bagi keduanya, yang jarang sekali ada waktu luang ketika seharian harus berkutat dengan pekerjaan masing-masing.
Seperti biasa, mereka hanya makan malam dan mengobrol. Saling bercerita tentang pekerjaan masing-masing dan terkadang mendiskusikan beberapa hal yang dianggap penting.
"An, gimana wawancaranya hari ini? Udah dapat, yang kamu cari?" tanya Raka sambil duduk selonjor di lesehan warung.
"Oh, iya. Alhamdulillah. Hari ini aku wawancara dan langsung cocok, sesuai dengan yang aku cari. Hasil desainnya bagus, orangnya juga tidak terlalu banyak bicara. Tapi ...." Anita tidak meneruskan ucapannya.
"Tapi apa? Dia minta gaji tinggi?"
"Enggak. Dia setuju dengan semua peraturan dan gaji yang aku tawarkan."
"Terus ..., masalahnya apa, dong?"
"Dia itu cewek, tapi berpenampilan mirip sekali seperti cowok." Anita menjawab sambil sesekali menyeruput teh hangat.
"Oh, ya?"
"Iya ...! Bahkan, awalnya aku kira dia itu seorang cowok, lho!"
"Semirip itukah?" Raka terlihat sedikit penasaran.
"He'em." Anita menjawab dengan anggukan kepala.
"Menurutmu bagaimana, Ka?" lanjutnya bertanya.
"Ya nggak pa-pa. Asalkan dia bisa bekerja dengan baik, dan punya tingkah laku yang baik. Menurutku, penampilan tidak begitu penting untuk seorang editor. Bukankah begitu?" Raka memberikan sedikit pertimbangan.
"Hemm ... ya, aku pikir juga begitu. Lagi pula, aku sudah sangat membutuhkan seseorang untuk membantuku mengerjakan desain."
"Iya, kau benar. Kesehatanmu juga harus dijaga. Kau sudah terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini, An." Raka berbicara sambil memandang kekasihnya lekat.
Anita tersenyum. Raka adalah calon suami yang sempurna menurutnya, terlalu sempurna bahkan. Mungkin memang inilah seseorang yang telah Tuhan siapkan, hingga dirinya harus menunggu selama dua puluh tujuh tahun.
***
Hari itu sesuai kesepakatan, Andra mulai masuk kerja. Langsung saja Anita menyodorinya beberapa tugas untuk mendesain pesanan undangan. Tanpa banyak bicara, Andra segera mengerjakan apa yang diinstruksikan.
Dalam satu hari, dia bisa mengerjakan dua sampai tiga desain undangan. Sejauh ini, pekerjaannya tidak pernah membuat Anita kecewa. Terbukti, dengan kepuasan yang dirasakan juga oleh para konsumen.
Orderan kembali lancar dengan deadline yang selalu berhasil dikerjakan tepat waktu. Para pelanggan Anita menjadi bertambah banyak karena bantuan Andra.Anita sendiri tidak begitu sering ngobrol dengannya, berbeda dengan Mbak Sari, mantan editornya yang dulu. Hampir setiap hari ia berbincang dengan Mbak Sari seperti layaknya seorang sahabat.
Mungkin karena dari segi usia, umur Anita dengan Mbak Sari tidak terpaut jauh. Berbeda dengan Andra, umur mereka berdua terpaut jauh dengan rentang waktu sekitar lima tahun.
Tapi menurut Anita, untuk usia sebayanya, Andra termasuk tampak lebih dewasa.Itu terlihat dari tanggung jawabnya dalam mengerjakan pekerjaan, yang cekatan dan efisien. Dia pandai mempergunakan waktu. Saat istirahat makan siang pun, ia selalu kembali ke kantor tepat waktu.
Tanpa terasa, Andra telah bekerja di percetakan milik Anita selama lebih dari dua bulan.
Siang itu, kebetulan Anita ingin membeli makan siang di luar. Saat ia baru saja keluar dari ruangan, terlihat Andra sedang berdiri di teras depan sambil sibuk mengutak-atik ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Sang Editor (Tamat)
RomanceFollow dulu sebelum baca ya... Cerita ini makin seru lho, nggak nyangka bisa masuk peringkat ke 6 di wattpad novel 🌸🌸🌸 Anita adalah seorang wanita lajang berusia 27 tahun, pemilik sebuah usaha percetakan warisan dari S...