Bahu yang Lain.

203 28 5
                                    

"Shabira"
Lelaki berkulit putih dengan tatapan yang tajam memanggil nama Shabira dengan samar. Ia merasa ragu, apakah yang dilihatnya saat ini adalah benar Shabira atau bukan. Wanita yang dipanggilnya pun akhirnya berbalik, dan ternyata benar ia adalah Shabira.

"Sahdan?"
Jawab wanita yang tadi dipanggil namanya. Jakarta terasa begitu sempit bagi Shabira saat ini, sebelumnya ia bertemu dengan Heza, dan saat ini ia bertemu dengan Sahdan, lelaki yang tempo hari berkata ingin melamarnya.

"Hai, kamu mau belanja?"
Tanya Sahdan berbasa basi, sembari berjalan ke arah Shabira.

"Ah iya, mama nitip beli minyak dan susu hamil buat mba Zara. Kamu juga habis belanja atau baru mau belanja?"
Tanya Shabira, dengan sedikit kecanggungan.

"Aku juga baru mau belanja, tapi bedanya aku mau belanja kebutuhan untuk 1 bulan. Mau bareng?"
Tanya Sahdan, sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Oh boleh"
Jawab Shabira masih dengan senyum canggungnya. Entah mengapa, Shabira merasa gugup saat ini. Melihat wajah Sahdan, mengingatkannya akan moment ketika ia berkata ingin melamarnya.

Shabira dan Sahdan, memasuki supermarket bersama. Mencari barang yang mereka butuhkan, setelah minyak, susu hamil dan beberapa kebutuhan yang Shabira cari telah lengkap. Shabira pamit kepada Sahdan untuk pulang lebih dulu, namun sebelum ia menuju kasir handphonenya berdering. Sang mama menelepon Shabira kembali.

"Halo mah assalamualaikum"
Seperti biasa, Shabira mengucap salam saat mengangkat telepong sang mama sebagai pembuka.

"Waalaikumsalam Sha, mama kayaknya ga jadi masak buat makan malam. Kalau kamu ga sempat ke supermarket buat beli minyak gapapa, nanti mama aja sekalian. Mba kamu dan mas Zafran ngajakin mama dan papa makan di resto favorit mereka nih Sha. Kamu nyusul aja ya, tau kan kamu?"

"Yaampun ma, restonya kan ada di Bogor, jauh banget ah ma, Shabi males nyusulinnya. Gapapa, Shabi pulang aja. Nanti paling beli fastfood aja buat makan malem, lagi pengen juga sih. Tapi ini minyak sama susu mba Zara udah Shabi beliin ya, tinggal ke kasir soalnya."
Shabira memang malas untuk menyusul keluarganya, karena jarak yang cukup jauh dari Jakarta. Kebetulan, di gedung yang sama dengan supermarket ini terdapat restoran cepat saji yang bisa mengisi perut kosongnya sore ini.

"Yaudah kalau gitu, mama berangkat ya nak. Kamu hati-hati dijalan kalau pulang. Assalamualaikum"

"Siap ma, waalaikumsalam"
Tutup Shabira mengakhiri percakapan keduanya.

Sahdan yang masih berada disebelahnya, tanpa sadar memperhatikan Shabira sepanjang ia menelepon. Shabira yang tiba-tiba  menoleh ke arah Sahdan, membuat ia memergoki lelaki itu menatapnya intens.

"Eh"
Seketika ia salah tingkah saat Shabira memergokinya. Shabira yang melihat pria didepannya salah tingkah seketika tersenyum geli.

"Aku duluan ya Sahdan"
Pamit Shabira yang memang sudah selesai berbelanja.

"Sha, tunggu. Tadi, aku denger kamu mau makan fastfood, boleh kita makan bareng? Aku lapar juga nih dan lagi pengen fastfood. Maaf ya, aku ga bermaksud menguping pembicaraan kamu"
Sahdan memang benar-benar merasa lapar saat ini, meskipun awalnya memang tidak berniat memakan makanan cepat saji, tapi sepertinya tidak buruk juga apabila memakannya bersama Shabira.

"Loh tapi kan kamu masih belum selesai belanja?"
Tanya Shabira, yang sebetulnya merasa canggung apabila harus makan berdua dengan Sahdan.

"Emm, aku bisa terusin belanja setelah makan. Laper juga, dan mumpun ada teman makan Sha"
Jawab Sahdan, yang membuat Shabira berpikir.

"Hemm, yaudah gimana kalau aku temenin aja sampai kamu selesai belanja?"
Tawar Shabira yang membuat Sahdan terkejut.

Akhirnya, Shabira dan Sahdan berbelanja terlebih dahulu untuk kebutuhan Sahdan 1 bulan ke depan. Sesekali Shabira sedikit memberikan saran, makanan kaleng yang bisa membantu Sahdan ketika merasa lapar tengah malam. Shabira juga merekomendasikan pengharum ruangan, hingga pengharum mobil yang menjadi favoritnya. Anehnya, Sahdan selalu mengikuti pilihan Shabira.

Setelah selesai, mereka ke kasir berbarengan. Shabira yang berbelanja lebih sedikit, mengambil antrian didepan Sahdan. Shabira memindahkan seluruh belanjaannya ke meja kasir dibantu oleh Sahdan.

"Bu, sekalian punya suaminya dipindahkan saja kesini. Masih cukup"
Pinta sang kasir, yang rupanya menyangka bahwa Shabira dan Sahdan adalah pasangan suami istri yang sedang belanja bulanan. Shabira dan Sahdan yang mendengar itu kaget dan tertawa berbarengan.

"Mba, ini aja ko belanjaan saya. Mas yang disamping ini, temen saya bukan suami saya"
Jelas Shabira kepada sang kasir, mendengar itu kasir meminta maaf kepada Shabira dan Sahdan.

"Oh bukan, maaf ya mba dan masnya. Saya kira suami istri, soalnya cocok"
Sahdan yang mendengar itu tersenyum dan mengaminkan dalam hati, amin yang paling serius. Sementara Shabira merespons dengan anggukan, sembari tersenyum.

Setelah mereka berdua menyelesaikan pembayaran dari hasil berbelanja sore itu, mereka melanjutkan kebersamaannya dengan makan malam bersama. Shabira pikir, daripada makan malam hanya sendiri , lebih baik ia makan bersama Sahdan. Begitupula Sahdan, lelaki mana yang akan menolak makan malam dengan wanita secantik Shabira. Meskipun menu makan malam mereka adalah junkfood, Sahdan akan tetap menikmatinya.

Sesampainya di restoran cepat saji yang mereka tuju, Sahdan dan Shabira segera memesan makanan yang akan menjadi menu makan malam keduanya. Setalah itu, mereka mencari tempat duduk yang kosong, yang kebetulan hanya tersisa 2 bangku yang posisinya berada di paling pojok sisi restoran tersebut.

Shabira dan Sahdan menikmati makanannya masing-masing sembari mengobrol ringan. Sampai pada saat keduanya telah menghabiskan makanan didepannya, Sahdan mengingatkan apa yang dikatakannya pada Shabira tempo hari.
"Sha, ngomong-ngomong kenapa whatsApp ku jarang dibalas? Apa kamu marah sama omonganku tempo hari"
Shbira yang diajukan pertanyaan seketika beku, tidak menyangka bahwa Sahdan akan dengan frontal menanyakan mengapa Shabira tidak membalas pesan yang dikirimkan lelaki itu.
"Emm, gapapa sih. Cuma, aku ga mau kasih harapan aja ke kamu"
Shabira menjawab dengan jujur apa yang dihindari dan dirasakan olehnya.
"Kenapa?"
Tanya Sahdan penasaran.
"Kamu kan tau, aku udah punya pacar"
Jawab Shabira sembari menatap wajah Sahdan dengan tatapan yang lesu.
"Sha, aku serius soal omonganku kemarin. Aku siap jadi pengganti Razeka, kalau kamu memang mau nerima aku"
Runtuh sudah pertahanan Shabira, ia menunduk dan menangis. Bukan karena pernyataan Sahdan yang salah, karena ia siap menggantikan Kai. Ia menangis karena ingat, bahwa Razeka tidak seserius lelaki didepannya.
"Sha, kamu kenapa nangis?"
Sahdan yang melihat Shabira menangis merasa kebingungan, dan refleks menghampiri Shabira kemudian memeluknya. Hingga akhirnya Shabira menangis di bahu lain, di bahu selain Kai. Di bahu Sahdan Aditama Narendra, lelaki impian setiap wanita namun hanya menyukai Shabira.





TBC

——-
Gimana menurut kalian?

Kalian tim Sahdan - Shabira (SaSha) atau Razeka - Shabira (Rasha)?

First LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang