☁️18. How Not To☁️

353 54 31
                                    

Jam tujuh malam itu, Gamal akhirnya bisa pulang lebih cepat dan sampai rumah. Seperti akhir-akhir ini, Leo menyambutnya di depan pintu. Senyum Gamal mengembang, lalu berjongkok untuk menuangkan makanan untuk camilan malam kucing itu. Gamal terbiasa mengisi mangkuknya dulu pagi hari, dan menyempatkan untuk ke apartemen siang harinya. Pernah sih Gamal beberapa kali nitip ke Dhika, atau ke bagian penitipan hewan. Cuma kadang Gamal males jemputnya dan suka lupa. Jadi daripada bolak-balik, mending di rumah aja deh. Toh, Leo ngga nakal dan suka acak-acakin barang kayak kucing lainnya.

"Leo, kangen ngga sih sama Mama kamu?" Tanya Gamal sambil mengusap kepala kucing yang sedang menikmati kudapannya.

"Aku kangen banget masa, sepi kasur." Leo sempat berhenti makan dan menatap Gamal sebelum kembali makan, Gamal terkekeh.

"Ngga deng, serius. Apa ya, kebiasaan kayaknya?" Gamal lanjut berbicara seakan Leo adalah pendengar yang baik.

"Biasanya pagi-pagi udah kecium harum dari dapur, terus aku sempetin colek sarapannya sebelum pake baju." Gamal masih inget betapa keselnya Kia tiap pagi. Gamal habis mandi malah melipir dulu ke dapur buat nyicip, abis itu digeplak sama Kia dan Gamal kabur ke kamar.

"Kalo pulang juga, kalo sore pasti udah ditungguin di depan pintu sama Leo. Kalo malem, pasti ketiduran di sofa." Kia selalu ada, ngga kemana-mana. Tapi kali ini ngga, Kia ngga ada di sana. Padahal baru hampir seminggu, tapi kerasa lama banget buat Gamal.

Leo mengeong karena makanannya sudah habis, dan air di mangkuknya tidak tersisa. Gamal bangun dari posisi jongkoknya buat mengisi mangkuk Leo dengan air, lalu membiarkan kucing itu minum.

"Enak ya jadi kamu, seharian ketemu Almira terus, dilayanin lagi." Gamal sekarang separuh iri sama Leo. Walaupun dalam hati setuju juga sama kata istrinya soal ngobrol sama kucing itu bikin lega.

"Duh ini kembung deh aku kayaknya." Gumam Gamal lalu berdiri dan berjalan menuju dapur. Perutnya terasa penuh dan kembung, rasanya seperti ada angin berputar di dalamnya. Gamal tergerak buat nyeduh teh panas, apa pun yang cepet deh supaya bisa meredakan kembungnya. Seingatnya, Kia ada nyimpen obat herbal di kotak obat. Nanti Gamal minum deh sebelum tidur.

"Ah, kalo ada Almira pasti dibalurin." Keluhnya sambil duduk di ruang tengah, lalu menyesap teh nya perlahan.

Lagi ngga enak badan gini, malah sendirian. Eh ngga deng, sama Leo, sama kucing. Tapi kan Leo ngga bisa balurin minyak kayu putih :( Akhirnya Gamal ke kamar ambil kayu putih sendiri, terus cuma dibalurin perutnya aja, sendiri :( Sad :(

"Rame amat." Gamal cukup terkejut waktu mendapati notifikasi grup dari ponselnya, sudah menumpuk sekitar puluhan chat di sana.

"Ah elah, ada-ada aja." Keluh Gamal sambil membaca barisan chat di sana. Sudah pasti Gamal akan absen, mengingat kondisinya emang lagi kurang baik akhir-akhir ini.

Gamal langsung berhenti mengetik ketika melihat salah satu anggota yang menyatakan kesanggupannya untuk datang. Sumpah, Gamal langsung pusing karena harus menimbang-nimbang buat dateng apa ngga jadinya.

"Argh!" Gamal setengah kesal, tapi akhirnya chat nya terkirim juga. Dengan kalimat berbeda tentunya.

☁️☁️☁️

Bermodalkan minyak angin di saku, dompet, jaket, dan kewarasan. Gamal sampai di depan pintu "The Poem". Bar milik Adam, Wahyu dan Dhika yang cukup tersembunyi, masih jarang ada orang yang tau. Maklum lah, masih baru buka sebulan yang lalu. Yang nongkrong di sini juga paling orang-orang yang mereka kenal. Sekitaran alumni dan temen-temen yang udah lulus dan pastinya berusia legal untuk ke sini. Penghasilan gabungan mereka cukup untuk membuka bisnis ini, dan tentu dengan dukungan dari pamannya Dhika yang punya bisnis serupa.

LEVEL UP! (Gamal & Ezra next chapter of life)  [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang