"San, pacaran sama gue yuk?"
Ide itu seketika muncul di kepala Wicak, waktu rintik hujan terdengar menampar aspal dengan cukup deras. Saat itu, Wicak baru saja selesai mengantarkan berkas syarat wisudanya dan menjemput Sania di gedung fakultas. Sania janji akan menunggunya sampai selesai, meskipun tanpa kepastian kapan Wicak akan dipanggil dari antrian. Sania dengan malu-malu, mengiyakan ajakan itu. Entah karena alasan apa, perasaan itu muncul begitu saja dan Sania sama sekali tidak bisa menahan itu keluar dari mulutnya.
Hari-hari berlalu, bulan demi bulan, bahkan memasuki hitungan tahun. Sejalan dengan teman sebaya mereka yang sedang dalam usaha mencari jati diri, Wicak maupun Sania juga begitu. Wicak cukup frustasi meskipun indeks prestasi kumulatifnya cukup membanggakan, Sania juga terbebani dengan nilainya sendiri.
Wicak cukup sadar, bukan disanalah jalan yang ingin diambilnya. Terlambat memang, maka dari itu Wicak bertahan dengan segala cara yang ia bisa. Belajar sampai rasanya mau gila, menganalisa struktur meskipun membayangkan gambarnya saja sudah ingin muntah. Wicak akan lakukan, setidaknya sampai ia lepas dari sini. Semuanya semata-mata karena tidak ingin menyusahkan orang tua, dengan alasan sepele salah jurusan dan menyadarinya saat menjelang semester tua.
Wicak adalah jiwa yang bebas, dan tertutup di saat bersamaan. Seni dan olahraga adalah dua yang ia sukai, jauh dengan matematika teknik maupun mekanika. Seni terlihat tidak punya masa depan, itu yang ada di pikirannya saat hampir lulus sekolah menengah atas. Hingga ia memilih jalur yang mungkin bisa membuat masa depannya lebih menjanjikan. Orangtua tidak sama sekali memaksanya, ia yang memilih sendiri jalan itu.
Sania, adalah segala sesuatunya tentang keindahan. Tumbuh sebagai putri yang dipenuhi merah muda, juga apa pun yang identik dengan segalanya yang sangat perempuan. Itulah mengapa ia terpikir untuk masuk dalam dunia desain. Yang ternyata, tidak semudah dan seindah yang ia pikirkan.
Sania tidak memahami tentang tekstil, juga dalam membuat pola berulang kali, apalagi ilmu jahit. Setelah bertahun-tahun kuliah, Sania hanya sekedar bisa melewatinya begitu saja. Hanya bisa, bukan menjadi mahir apalagi ahli. Mentalnya sempat terjatuh berulang kali, bahkan lulus mata kuliah dengan nilai rendah pun sudah bersyukur. Yang penting lulus, sebentar lagi Sania akan lepas dari sini. Satu pujian yang ia dapatkan, adalah tentang peragaan busana. Sania selalu bisa, mempresentasikan setiap jenis busana dengan baik.
Dua tahun yang lalu ketika menjelang malam, Sania dan Wicak hampir jadi penghuni terakhir di kampus. Keduanya sama-sama pusing menyelesaikan tugas untuk ujian akhir semester, lalu bertemu di persimpangan lorong antara gudang bahan dan maket. Keduanya saling mengenal baik, tentu. Jadi Wicak mengajaknya untuk sekedar mengobrol menunggu hujan reda, di salah satu kedai sederhana. Di tempat itu, keduanya sama-sama mengerti. Kalau mereka sama-sama terjebak takdir semesta.
Keduanya berbagi beban yang sama, saling mengerti. Sederhananya, saling jatuh cinta.
"Sakit hati, apa sakit gigi?"
"Sakit hati lah."
"Lah sakit gigi dong, kan ada obatnya. Sakit hati mah ngga ada."
"Ada lah Bri, kan lo obatnya."
"Garing banget sih lo! Putus yuk!"
"Hahaha, jangan lah!"
Gurauan itu acap kali Sania atau Wicak lontarkan saat mereka sedang sama-sama melantur dalam berbagai situasi, seringnya komedi. Wicak akan mulai meracau dengan modal gurauan bapak-bapak whatsapp, lalu Sania akan mengajaknya putus karena malu. Pada situasi lain, Sania akan bereaksi berlebihan akan sesuatu. Entah tertawa, atau berteriak, bahkan terkesima. Ekspresinya cukup ajaib, maka Wicak akan melontarkan gurauan yang sama sambil tertawa. Tentu saja tidak serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
LEVEL UP! (Gamal & Ezra next chapter of life) [✔]
FanfictionAnother bridge, a level up This is a lokal AU, a sequel from Gamal & Ezra Story. The cast name belongs to @lokalsvt on twitter. WARNING: Bahasa Semi Non-Baku