✨. TEARS

419 70 21
                                        

Seokjin merenung dalam posisinya. Sebenarnya Sojung kenapa? Dampak fatal apa yang menimpa gadis itu? Sampai-sampai ayah gadis itu marah sekali padanya, seakan-akan benar kalau dia; Seokjin, telah merenggut kebahagiaan dirinya.

Namun sekali lagi, Seokjin masih bingung. Dia sama sekali tidak diberitahu tentang bagaimana kondisi Sojung sekarang, dan hal fatal apa yang kini menimpanya.

Seokjin hanya tahu kalau kedua orang tua Sojung marah ... karena tragedi kecelakaan tadi malam.

Sementara di ruangan lainnya, Sojung masih belum sadar. Air mata kedua orang tua Sojung bahkan belum mengering. Mereka masih setia menangisi keadaan putrinya sekarang.

Puluhan tahun mereka berusaha menjaga Sojung dengan baik, tapi karena insiden kecelakaan ini, mereka menjadi merasa sudah gagal menjalankan tugas mereka. Mereka tidak menjaga Sojung dengan baik.

Mereka kecewa,

pada diri mereka sendiri.

Namun mereka juga membenci,

membenci orang yang telah membuat putri sematawayang mereka terluka.

Dalam hati Ayah Sojung bertanya-tanya, kenapa harus Seokjin yang mencelakai anaknya? Kenapa dari sekian banyak manusia, harus Seokjin yang menjadi perantara Tuhan untuk memberikan musibah pada Sojung, sementara harusnya Seokjin menjadi orang yang dapat Ayah Sojung percayai untuk menjaga putri satu-satunya sampai dia mati?

🖇 TEARS 🖇

Sudah lebih dari dua hari Sojung tidak sadarkan diri. Sekarang saat dirinya merasa bahwa dia sudah sadar, pandangan matanya justru menjadi gelap.

Dia meraba bagian matanya, kemudian dia merasa ada perban yang membungkus dan melilit di kepalanya.

Tuhan, tunggu. Kenapa Sojung merasa tidak enak? Apa dia ... menjadi buta? Apa dia buta?

Ini sungguhan? Apa dirinya benar-benar buta?

Lantas teriaklah dia, sambil menangis dan berusaha membuka perban matanya. Tapi tangan seseorang menahan aksinya. Itu tangan perawat.

Sementara perawat yang lain, memberikan suntikan bius pada cairan infus guna menenangkan Sojung.

Kemudian ketika emosi Sojung pelan-pelan mulai stabil, perawat pergi meninggalkannya dan orang tua Sojung masuk ke ruangan.

Sojung tidak dibius sampai dia kehilangan kesadaran. Sebenarnya sampai sekarang dia masih sadar, hanya saja dia tidak lagi punya kekuatan untuk memberontak dan mengeluarkan semua emosinya.

Sampai tangan Ibunya membelai halus kepalanya, dan perlahan memeluk tubuhnya. Sojung merasakan kedamaian, hembusan napasnya menjadi lebih ringan.

"Maafin Ibu ya, Jung. Ibu nggak bisa bantu apa-apa," kata Ibu Sojung. "Tapi Ibu janji, Ibu bakalan cari pendonor mata secepatnya buat kamu. Ibu janji, Jung!" Sambil mengecup punggung tangan Sojung, Ibu Sojung berjanji bersama dengan air matanya yang turun.

Sekarang Sojung tahu jawabannya. Dia benar-benar buta. Sojung tidak tahu harus berbuat bagaimana, tapi dia juga tidak yakin kalau dia bisa bertahan hidup dengan kondisi seperti ini.

Puluhan tahun hidup dengan keadaan tubuh yang sempurna, semua organ berfungsi dengan baik, tapi sejak hari ini dirinya harus terbiasa dengan kecacatan mata.

Ini terlalu tiba-tiba. Sojung belum siap ... mungkin tak akan pernah siap.

Tuhan, tolong kembalikan cahaya dan penglihatan matanya lagi ....

🖇 TEARS 🖇

Hari ini sebenarnya Seokjin sudah diperbolehkan pulang. Setelah dua hari dalam pemantauan dokter, Seokjin dinyatakan sehat dan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja luka di tangannya masih harus sering diperhatikan dan obat yang dokter berikan juga harus selalu Seokjin minum.

"Ayo, Jin. Biar Ibu yang bawa barang-barang kamu," kata Ibu Seokjin sambil meraih tas kecil yang berisi pakaian salin Seokjin.

"Bu, saya mau liat Sojung dulu sebentar. Boleh, ya?" tanya Seokjin. "Ibu duluan aja pulang ke rumah, nggak pa-pa nanti saya pulang sendiri."

"Buat apa ngeliat Sojung? Orang tuanya nggak bakal ngizinin kamu," kata Ibu Seokjin. "Udah ayo, ikut pulang sama Ibu aja!"

"Bu, saya loh yang buat Sojung kayak gitu. Masa saya nggak boleh ngeliat kondisi dia? Nggak boleh pengen tau gimana perkembangan kondisi dia? Saya harus tanggung jawab dong, Bu," ujar Seokjin.

"Ya kamu mau tanggung jawab gimana, Seokjin? Orang tuanya Sojung juga 'kan udah marah-marah sama kamu, udah mukulin kamu. Sekarang udah imbang, adil," balas Ibu Seokjin.

"Nggak imbang, Bu. Apa yang Ayah Sojung lakuin ke saya itu belum sebanding dengan apa yang harus Sojung terima sekarang," balas Seokjin lagi.

Ibu Seokjin menghela napasnya. "Ya terus kamu mau gimana biar ngerasa semuanya imbang? Adil? Kamu mau buta juga gitu? Atau mau ngasih mata kamu ke Sojung?"

"Kalau bisa, saya siap kasih mata saya ke Sojung," kata Seokjin.

Mata Ibu Seokjin spontan membelalak terkejut. "Nggak bisa! Pokoknya Ibu nggak setuju!"

"Bu ...."

"Nggak!" tekan Ibu Seokjin sekali lagi.

"Bu, saya ini laki-laki loh. Saya harus tanggung jawab," kata Seokjin.

"Tanggung jawab nggak harus mengorbankan diri, Seokjin! Kamu harus pikirin konsekuensinya!" Ibu Seokjin melanjutkan, "Kamu nggak akan bisa ngelanjutin masa depan kalau kamu buta."

"Tapi, Bu ...."

Ibu Seokjin memeluk putranya tiba-tiba, kemudian menyatukan keningnya pada kening Seokjin. "Denger Ibu! Ibu nggak sanggup dan nggak rela kalau kamu buta. Kamu bisa tanggung jawab, dengan banyak cara lain, Nak. Jangan korbanin diri kamu sendiri, Ibu nggak sanggup kalau harus ngeliat anak Ibu ngorbanin dirinya sendiri untuk mempertanggungjawabkan kelalaian yang sebenernya itu nggak sepenuhnya salah kamu."

Seokjin tiba-tiba jadi ikut menangis. Dengan hati tulus dia berkata, "Tapi saya bakal lebih sakit dan menderita kalau terus ngeliat Sojung buta karena saya, Bu. Rasanya saya kayak ... saya nggak mau biarin dia menderita sendirian. Saya sayang sama dia, Bu ...."

"Ibu ngerti, Nak ... Ibu ngerti. Tapi kalau kamu sayang sama dia, harusnya kamu lebih sayang sama dirimu sendiri," kata Ibu Seokjin. "Kita pikirin jalannya sama-sama, ya? Jangan gegabah, kita bisa nyelesein masalah ini sama-sama. Ibu janji bakal bantu kamu buat tanggung jawab sama Sojung dan keluarganya."

Seokjin mengangguk dalam air matanya, dia kemudian memeluk Ibunya. Entah apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Namun satu hal yang pasti, Seokjin beruntung mempunyai sosok ibu seperti Ibunya ... yang selalu menemaninya dari kecil, di saat suka mau pun duka.

🖇 TEARS 🖇

Author's Note:
Hai! Asik, aku balik lagi, xixixi. Selamat hari senin, selamat bertemu kembali dengan tugas.
Semoga pas selesai baca ini, beban-beban pikiran karena tugas kalian lebih lega ya :D



Meanwhile―–: boro-boro lega,
nambahin beban iya🙄😌

[1] Pak SeokjinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang