Rasanya bahagia sekali ... melihat Fany tersenyum dan bahagia bersamanya. Diiringi lelucon kecil yang sesekali Seokjin buat, Sojung merasa bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga mereka.
Seokjin si ayah dengan segala leluconnya, Fany dengan tingkah usilnya, dan dia si ibu yang menikmati kehangatan keluarga.
"Aduh, udah ah, Fany capek ketawa terus," keluh anak itu. "Fany mau minum dulu. Tante Sojung mau minum juga, nggak?"
"Yuk, Tante juga mau minum," jawab Sojung yang sesudahnya menggandeng tangan Fany dan mengajak anak itu pergi ke dapur.
"Fany, Papa titip air putih, ya!" ujar Seokjin.
"Iya nanti Fany ambilin," jawab Fany yang sudah melenggang pergi ke arah dapur.
Sampai di dapur, Sojung menyusun tiga gelas menjadi satu baris, kemudian Fany memasukkan es batu berbentuk kubus ke dalam masing-masing gelas. Sojung melanjutkan menuang air putih ke dalam gelas yang telah berisi es batu tersebut.
Kemudian Sojung dan Fany lebih dulu menenggak air di gelasnya. Saat Fany melepas dahaga dan menyerukan suaranya, Sojung dibuat tertawa gemas karenanya.
"Fany mau lagi?" tawar Sojung.
Fany lantas mengangguk. "Boleh?"
"Boleh, dong," jawab Sojung sambil meletakkan gelas miliknya di atas meja. "Sini, Tante tuangin lagi airnya."
Fany memberikan gelasnya pada Sojung, kemudian mengambil satu gelas yang diperuntukkan untuk Seokjin. Gadis kecil itu bilang, "Ini Fany anterin ke Papa dulu ya, Tante?"
Sojung mengangguk. "Hati-hati ya, Fanny."
Dua detik setelahnya Fany kembali bersuara. Dipikir Sojung ada apa, ternyata malah Seokjin yang datang ke dapur dan meminta gelasnya dari Fany. Setelah itu Sojung kembali melepas fokusnya, dan kembali menenggak air dingin di gelasnya.
"Kok Papa ikut ke dapur?" tanya Fany.
"Emangnya nggak boleh gitu Papa nyusul ke dapur?" tanya balik Seokjin. "Papa mau ngomong sama Tante Sojung sebentar."
Fany mengangguk mengerti. Kemudian mengambil gelasnya yang sudah selesai diisi air oleh Sojung. Fany melenggang pergi meninggalkan Seokjin dan Sojung.
"Main di ruang tengah sama nenek aja, Fan. Nenek udah pulang kok dari rumah sakit," pesan Seokjin pada Fany yang melenggang pergi.
"Ibu udah pulang?" tanya Sojung pada Seokjin.
"Iya udah pulang," jawab Seokjin.
"Terus ... Bapak nggak kerja hari ini?" tanya Sojung lagi.
Belum sempat Seokjin menjawab, Sojung menyambung pertanyaannya lagi. "Kesibukkan Bapak tuh apa, sih? Emang khusus nerima bimbingan skripsi private gitu?"
"Bimbingan skripsi private saya pegang dua doang sih, Jung. Kamu, sama ada satu lagi mahasiswa lain. Kalau pekerjaan tetapnya saya―"
"Anak universitas mana dia? Perempuan atau laki-laki?" tanya Sojung penasaran. "Jangan-jangan Bapak ...."
Seokjin berkata sambil tertawa, "Apa? Kamu mau nuduh saya ngebaperin anak didik saya lagi? Ya nggak lah, Jung. Buat apa saya ngebaperin anak laki-laki kayak dia?"
"Oh, muridnya laki-laki ...," ujar Sojung.
"Lama-lama saya kebal juga Jung, diprasangakain yang buruk-buruk sama kamu terus," celetuk Seokjin.
"Ah, Bapak. Jangan ngomong kayak gitu, nggak enak saya," balas Sojung. "Lagian 'kan saya ngomong gitu cuma ... buat jaga-jaga aja."
Seokjin mengulas senyum tipis, sebelum kembali bertanya, "Emang ... kamu serius suka sama saya?"
Sojung menatap Seokjin gugup, rasanya air peluh kini menutupi area kepala dan tangannya. Suasananya tiba-tiba menjadi panas, serta terasa pengap untuk Sojung.
Tak ada jalan lain, selain mengalihkan topik yang bisa Sojung ambil. Jadi ... "T-tadi Bapak ngomong belum selesai deh kayaknya. Pekerjaan tetap Bapak apa? Tadi Bapak belum bilang, tuh."
Seokjin kembali terkekeh dan memutar lidahnya di bibir bagian atas. "Saya tuh, dosen statistika di universitas deket sini. Di sebrang perumahan A di belakang sini. Tau nggak?"
"Oh universitas itu? Tau kok tau," jawab Sojung. "Tapi keren juga Bapak ya; Dosen Statistika ... aduh ngeri banget, ya. IQ-nya Bapak berapa tuh?"
"Kecil saya mah, Jung. Jangan ditanya lah, kecil beneran IQ saya," jawab Seokjin yang enggan menjawab jujur pertanyaan Sojung.
"Duh, ternyata bener, ya. Semakin pinter orang, semakin ngerasa bodoh; kayak padi, semakin berisi semakin merunduk," kata Sojung.
"Apaan sih, Jung. Saya tuh emang beneran nggak pinter. Masih di bawah saya, masih kalah lah sama orang-orang yang lebih pinter di luar sana," kata Seokjin.
"Aduh, iya deh. Bapak di bawah, kalau saya ... jongkok. Otak saya jongkok nih kayak gini." Sojung benar-benar membuat badannya jongkok, sehingga membuat Seokjin tertawa.
"Bangun, Jung, bangun!" suruh Seokjin. "Jangan aneh-aneh deh kamu, nanti dikira saya yang nyuruh-nyuruh kamu jongkok kayak gitu lagi sama ibu."
"Ya lagian Bapak, udah di kasta tinggi masih aja merendah," dumal Sojung. "Terus saya yang emang di kasta bawah mau dikemanain? Dihilangin dari muka bumi gitu?"
Seokjin tertawa lagi. "Ya nggak dihilangin juga kali, Jung."
Sojung memutar bola matanya sebal, sebelum kembali mengubah ekspresi wajahnya karena Fany datang dan memanggil namanya.
"Kenapa Fany?" tanya Sojung pada anak itu.
"Ada telfon," kata Fany. "Ini hpnya Tante Sojung."
Sojung menerima ponselnya ketika Fany memberikan barang itu. Kemudian Seokjin dengan sigap menaruh gelasnya di atas meja, kemudian mengajak Fany kembali ke ruang tengah.
"Yuk ke ruang tengah, yuk. Tante Sojung mau nelfon dulu sebentar," kata Seokjin sambil memutar balik tubuh Fany.
Sementara Sojung sudah mengangkat panggilannya, kemudian menyapa si penelfon di sebrang.
"Halo?"
"Halo, Jung? Lo ... masih marah sama gue?"
"Marah? Emangnya gue marah kenapa?"
"Berarti lo nggak marah sama gue?"
"Ya, nggak," jawab Sojung. "Buat apa coba gue marah? Lagian lo kenapa bisa sampe kepikiran kayak gitu?"
"Ya abisnya ... tadi lo tiba-tiba pergi; pulang, pas gue nyinggung masalah ... lo sama Pak Seokjin."
"Oh ...."
"Tapi lo beneran nggak marah sama gue 'kan, Jung?"
"Ya ... kalau dibilang nggak juga sebenernya gue bohong sih, Nay. Rasa marah sih ada cuma―"
"Ya ampun, Sojung. Sorry ... beneran sorry, gue minta maaf banget. Maafin gue, ya?"
"Nggak pa-pa, santai kok. Lo nggak salah, lo bener. Guenya aja mungkin yang tadi kayak lagi sensitif gitu."
"Jung ... maafin gue, ya? Serius, gue minta maaf banget."
"Nggak pa-pa, Nay. Santai, kok," balas Sojung. "Mau ngomong itu doang 'kan? Apa ada yang mau diomongin lagi?"
"Kayaknya itu aja sih, Jung. Gue cuma mau minta maaf, nggak enak perasaan gue soalnya. Sekali lagi sorry ya, Jung?"
"Iya, Nayeon. Udah, ya? Gue mau tutup telfonnya."
"Iya, yaudah. Bye, Jung."
"Bye, Nay."
Sojung menutup panggilannya, kemudian merapihkan gelasnya dan gelas Seokjin sebentar, mengantarnya pada tempat cucian. Kemudian berjalan kembali ke dalam, menemui Seokjin, Fany, dan Ibu Seokjin.
🖇 MAKE A WAY 🖇
Authors Note;
Hi, apa kabar? UDAH LAMA GAK UPDATE, SKSKSK. MOOD AKU ILANG-ILANGAN😭 SORRY
Semoga enjoy sama part ini ya! Sampai ketemu di part depan!
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Pak Seokjin
Fanfic#1 ― Sowjin Sojung itu seorang mahasiswi. Sudah dari dua bulan lalu dia dibebani oleh tugas wajib skripsi, ditambah lagi perintah dosen yang mengharuskannya untuk berulangkali merevisi bab-bab yang ada. Sojung mau saja menyerah, keluar dari kampusny...