"Iya ... nanti kamu tunggu saya aja di kampus," ujar Seokjin pada mahasiswanya melalui panggilan ponsel.
Beberapa kali lagi Seokjin berbicara pada mahasiswanya―yang tidak sabaran―di sebrang telfon, sebelum akhirnya menutup panggilannya dan menyantap sarapan rotinya.
"Kenapa sih mahasiswa kamu tuh?" tanya Ibu Seokjin yang kian penasaran lantaran anaknya tidak bisa tenang sedikit dalam menjawab panggilannya tadi.
"Itu, nilai dia di saya 'kan emang ada yang belum sempurna, terus dia minta ulang, tapi dia nggak sabaran," rutuk Seokjin. "Baru kali ini saya dapet mahasiswa yang bawel banget kayak dia. Padahal dia juga cowok, nggak bisa sabar sedikit emangnya?"
"Ya terus kamu janjian di kampus jam berapa sama dia?" tanya Ibu Seokjin lagi.
"Satu jam lagi sih, Bu," jawab Seokjin. "Oh ya, nanti saya juga kayaknya bakal pulang malem."
"Pulang malem? Tumben,"--Ibu Seokjin menyuguhkan segelas teh hangat untuk anaknya--"Emangnya ada urusan apa lagi?"
"Ada itu ... urusan sama dekan. Lumayan penting sih, makanya saya nggak berani ninggal," ujar Seokjin.
"Oh, yaudah nggak pa-pa ... eh, tapi kamu nggak ada jadwal ngebimbing 'kan malem ini?"
Seokjin diam, memutar pikirannya, mengingat-ingat jadwalnya malam ini. "Hmm ... harusnya sih ada, Bu," kata Seokjin. Namun seperdetik kemudian Seokjin berusaha untuk tidak terlalu ambil pusing soal ini. "Tapi 'kan kayaknya kontraknya udah nggak bisa dilanjut lagi. Nanti kalau sempet saya bakalan cepet-cepet kembaliin sisa uang jasa saya yang seharusnya dibayar untuk bukan sampe sini doang."
"Sojung, ya?" tebak Ibu Seokjin.
Fany yang sebenarnya daritadi sibuk menyantap sarapannya sekarang malah menyambar. "Emangnya Papa nggak bakal ngajar Tante Sojung lagi?"
Seokjin jadi menatap Fany, kemudian dia tersenyum dan menggeleng. "Nggak ... Tante Sojung 'kan masih sakit."
Fany sekilas mengerucutkan mulutnya. "Tante Sojung tapi nanti tetep main sama Fany, nggak?"
"Nggak tau," kali ini Ibu Seokjin yang menjawab, "Kita liat aja situasi dan kondisi nanti, ya?"
Seokjin yang iba lantas menarik kembali perhatian anaknya. Dia mencubit pipi Fany gemas, kemudian berkata, "Jangan sedih gitu ah, 'kan Fany mau sekolah, masa mukanya manyun begitu." Seokjin melanjutkan, "Anak Papa senyum, dong."
Fany menatap Seokjin sebentar, sebelum akhirnya mengulas senyum seperti apa yang Seokjin minta.
"Nah gitu, dong. Kalau kayak gini 'kan manisnya jadi keliatan, tambah cantik juga lagi anak Papa." Seokjin mengakhiri obrolannya dengan usakan rambut di atas kepala Fany, kemudian mengecup pucuk kepala anak itu.
"Papa berangkat duluan, ya? Nanti Fany dianter sama Nenek lagi nggak pa-pa 'kan?" tanya Seokjin yang dibalas anggukan Fany.
"Belajarnya yang pinter, ya? Main sama temennya juga jangan nakal!" pesan Seokjin.
Fany mengangguk-anggukan kepala. "Iya, Papa."
"Yaudah, Sayang, ya, Papa pamit,"--Seokjin mengambil barang bawaannya--"Bu, saya pamit, ya?"
Seokjin berdiri, kemudian melambaikan tangan pada Ibu dan putri kesayangannya. Kemudian dia berjalan keluar, meninggalkan rumah dan menuju ke kampus tempat dia mengajar.
🖇 SO MANY 🖇
Terlalu sibuk dengan pekerjaannya, Seokjin sampai melupakan jam makannya hingga saat ini. Dari pukul dua siang sampai pukul lima sore tadi, Seokjin melaksanakan rapat bersama beberapa dosen lain dan juga dekan untuk kemajuan kualitas pendidikan di perguruan tinggi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Pak Seokjin
أدب الهواة#1 ― Sowjin Sojung itu seorang mahasiswi. Sudah dari dua bulan lalu dia dibebani oleh tugas wajib skripsi, ditambah lagi perintah dosen yang mengharuskannya untuk berulangkali merevisi bab-bab yang ada. Sojung mau saja menyerah, keluar dari kampusny...