Sojung berani bersumpah, hatinya benar-benar terkejut saat mendengar perkataan dari mulut Seokjin.
"Dia udah meninggal, Jung."
Sojung mendadak membeku, pikirannya benar-benar kosong. Tapi hatinya merasakan kesedihan, juga rasa terkejut akibat kabar berita yang terlalu tiba-tiba baginya.
"Bapak lagi nggak bercanda, 'kan?" tanya Sojung.
"Hal kayak gini emangnya pantes saya bercandain?" tanya balik Seokjin. Kemudian laki-laki itu kembali mengeluarkan kekehannya, "Dia beneran udah meninggal, Jung. Belum lama ini ... jadi ya sedih-sedihannya masih berasa."
Ya ampun, Sojung rasanya ingin sekali ikut melirih. Seokjin pasti masih terpukul, karena baru saja kehilangan istri yang dia sayang. Belum lagi, Yoona pergi dengan meninggalkan Fany. Seokjin sekarang yang harus mengurus segala keperluan anak gadis―ponakannya―itu; tentu saja bersama dengan Ibunya.
"Pak ... saya minta maaf lagi, kalau suasana hati Bapak mungkin berubah jadi sedih lagi gara-gara pertanyaan saya," kata Sojung. "Tapi saya berani sumpah, saya nggak punya niat yang aneh-aneh. Saya cuma pengen tau kondisi Ibunya Fany aja."
"Saya tau kok," sahut Seokjin. "Kamu santai aja, lagian kamu juga boleh tau kalau dia udah nggak ada."
Walau Seokjin nampak sudah memaafkan semua kesalahannya, Sojung masih merasa tidak enak hati. Sampai akhirnya kecanggungan kembali menghampirinya. Sojung enggan mengajak Seokjin bicara lagi.
Katanya, takut salah angkat topik pembicaraan lagi.
Namun Seokjin yang peka bahwa Sojung merasa canggung, langsung kembali berkata. "Sebelum Ibunya Fany meninggal, dia sempet titip pesan sama saya. Pesannya itu ... buat kamu, Jung."
"S-saya?"--Sojung menjadi tambah gugup--"Kenapa? ... maksudnya, Ibu Yoona titip pesan apa buat saya?"
Seokjin sedikit meyakinkan dirinya kembali sebelum berani mengucapkan apa yang Yoona pesankan pada dirinya untuk Sojung. "Kamu tau donor mata yang saya kasih buat kamu?"
Sojung spontan mengangguk. Dalam anggukkannya, Sojung sembari memutar pikiran. Secepat hitungan tiga detik, Sojung mengeluarkan kalimat yang tiba-tiba terpikir di otaknya. "Mata itu ... mata Ibu Yoona?"
Seokjin mengiyakan. Detik berikutnya dia kembali berkata, "Yoona percaya kamu bisa jaga matanya dengan baik. Dia juga percaya kalau matanya itu pasti berguna banget buat kamu."
Sojung merasa hawa badannya memanas, dadanya terasa makin sesak. Rasanya seperti ingin menangis. "Bu Yoona ... kenapa baik banget sama saya? ... saya nggak tau kalau bukan karena dia yang rela ngasih matanya ke saya, saya bakal bisa ngeliat lagi atau nggak."
"Ya ... itu semua dia lakuin karena dia sayang kamu, Jung. Dia mau banget sebenernya ketemu kamu sekali lagi. Cuma ... ajal keburu dateng buat jemput dia," curah Seokjin.
Sojung tidak bisa mengucapkan dua patah― bahkan sepatah kata pun. Dia membeku, pikirannya hanya tertuju pada kebaikan mendiang istri Seokjin. Wanita itu bukan hanya cantik paras, tapi hatinya juga.
"Pak, kapan-kapan bisa anterin saya ziarah ke makam Ibu Yoona?" tanya Sojung yang kini menyudahi rasa sedih nan terkejutnya.
Sementara Seokjin dengan senang hati menjawab, "Iya. Nanti kapan-kapan kita ke sana, ya? Kita tengokin dia. Berdua, atau bahkan bisa bertiga bareng sama Fany."
Mendengar itu, Sojung setuju. Senyumnya terukir seiring dengan ajakan Seokjin yang meminta jari kelingkingnya. Kedua kelingking itu sekarang tertaut satu sama lain dan bersamaan dengan itu Seokjin mengucapkan janjinya bahwa dia akan pergi ke makam Yoona bersama dengan Sojung nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Pak Seokjin
Фанфик#1 ― Sowjin Sojung itu seorang mahasiswi. Sudah dari dua bulan lalu dia dibebani oleh tugas wajib skripsi, ditambah lagi perintah dosen yang mengharuskannya untuk berulangkali merevisi bab-bab yang ada. Sojung mau saja menyerah, keluar dari kampusny...