Seokjin dengan ditemani Ibunya pergi menuju ruangan di mana Sojung dirawat. Mereka sedikit mengendap-endap, hendak mencuri-curi kesempatan untuk bisa masuk ke dalam ruangan.
Saat dokter, perawat, serta kedua orang tua Sojung tepat keluar dari dalam, Seokjin dan Ibunya berbalik badan. Dalam hati mereka berharap, supaya kedua orang tua Sojung tidak menyadari kehadiran mereka.
Begitu ayah dan ibu Sojung serta dokter dan perawat sudah menjauh dari sekitar tempat tersebut, Seokjin dan Ibunya bergegas untuk masuk ke dalam ruangan Sojung.
Namun, Ibu Seokjin mengurungkan niatnya. "Ibu tunggu sini aja deh, jaga-jaga. Kalau nanti ayah sama ibunya balik, ibu panggil kamu."
"Yaudah saya masuk ya, Bu? Makasih udah mau bantuin saya," kata Seokjin.
"Iya, udah sana masuk. Jangan lama-lama di dalem," pesan Ibunya yang kemudian didengar oleh Seokjin.
Seokjin masuk, kemudian melihat Sojung yang sadar, tapi seolah tidak sadar akan kehadirannya di sini.
Seokjin kembali menutup pintu ruangannya, kemudian menatap Sojung lama. Mata gadis itu berkedip, tapi bahkan dia tidak sadar kalau Seokjin di sini, tidak menoleh dan menatap Seokjin sebagaimana biasanya.
Seokjin kemudian mengambil posisi di samping Sojung. Dari situ gadis itu mungkin mulai menyadari kehadiran seseorang di ruang rawatnya.
"Ayah?"
Tangan Sojung terangkat, meraba-raba mencari tubuh ayahnya ... bahkan berharap bahwa tangan ayahnya menarik tangannya dan menggenggamnya dengan erat.
Tapi yang melakukan itu sekarang bukan ayahnya, melainkan Seokjin. Air mata pria itu tiba-tiba mencelos, hatinya benar-benar merasakan nyeri.
"Yah, kok diem aja? Ibu mana?" tanya Sojung.
Seokjin menarik napasnya, kemudian mengontrol nada bicaranya. "Ini saya, Jung ... Pak Seokjin."
"P-pak Seokjin?"
Saat itu spontan Sojung menarik tangannya. Tapi Seokjin menggenggamnya makin erat. Akhirnya terjadi pemberentokan kecil oleh Sojung, sampai air mata gadis itu keluar dan dia menangis pilu.
"Bapak ngapain sih ke sini?" tanya Sojung di sela tangisannya.
"Saya mau tau keadaan kamu, saya mau―"
"SAYA BUTA! SAYA UDAH NGGAK BISA NGELIAT! SEKARANG KALAU BAPAK UDAH TAU KEADAAN SAYA, LEBIH BAIK BAPAK KELUAR SEKARANG!"
"Nggak, Jung. Saya nggak mau keluar, saya masih mau lebih lama sama kamu di sini," balas Seokjin.
"Cukup, Pak! Udah ... kita udah sampe di final. Saya udah cacat, saya juga udah nggak bisa ngelanjutin skripsi saya lagi. Jadi setelah ini, Bapak nggak usah hubungi saya lagi. Jangan inget-inget saya lagi!"
"Kenapa, Jung? Kenapa kamu bilang kayak gitu? Emangnya kenapa saya nggak boleh hubungi kamu, inget-inget kamu―"
"Karena emang udah selesai, Pak! Semuanya selesai!" Sojung melanjutkan, "Sekarang Bapak keluar! Saya mau sendiri!"
"Jung―"
"SAYA BILANG KELUAR, PAK!"
Seokjin kembali menarik napasnya, melepaskan genggamannya pada tangan Sojung. Kemudian menghapus jejak air mata yang daritadi membanjiri pipinya.
"Saya minta maaf, Jung. Gara-gara saya kamu kayak gini, gara-gara saya kamu jadi menderita ... semua gara-gara saya," lirih Seokjin.
Sojung tidak menggubris ucapan Seokjin sama sekali. Sampai akhirnya Seokjin mengangkat bahu tanda menyerah. "Jaga diri kamu baik-baik ya, Jung. Tetep jadi anak baik, anak yang selalu bawa aura positif bagi siapapun. Saya harap, ini bukan pertemuan terakhir kita ... tapi, saya pergi dulu. Jaga diri kamu baik-baik."
Seokjin keluar dari ruangan Sojung, kemudian disambut oleh sentuhan Ibunya. Ibunya seolah memberikan dia banyak semangat, tapi itu hanya bisa membantu rasanya sedikit. Karena pasalnya, Seokjin masih merasakan nyeri di dalam dada.
"Udah cukup, Nak, bicaranya?" tanya Ibu Seokjin sambil menutup pintu ruangan.
"Sojung marah sama saya, Bu," jawab Seokjin. "Dia minta saya buat nggak usah hubungi dia lagi, temui dia lagi, bahkan dia nyuruh saya ngelupain dia."
Ibu Seokjin kembali mengusap-usap punggung Seokjin. "Nggak pa-pa, Nak. Dia mungkin masih shock, masih belum pintar beradaptasi sama keadaan. Nggak usah terlalu dipikirin, ya? Kalau memang jodoh, pasti nggak akan kemana."
Seokjin mengangguk-anggukan kepala, "Iya, Bu."
"Yaudah sekarang kita pulang, sekalian jemput Fany di sekolah."
Seokjin kemudian berjalan beriringan bersama Ibunya. Tanpa dia tahu bahwa sebenarnya Sojung juga menangis di dalam ruangan. Gadis itu juga merasakan hal yang sama pada Seokjin. Sakit sekali dadanya, pedih sekali rasanya ... tapi inilah kenyataannya.
Sudah berulangkali semesta mengirim banyak cobaan untuk menggagalkan cinta Sojung pada Seokjin, tapi gadis itu tetap bersikukuh. Dikalahkannya semesta dengan rasa cintanya.
Namun sekarang justru Sojung yang kalah, Sojung menyerah. Kali ini, semesta terlalu sadis memberikan ujiannya. Sojung merasa semuanya sudah cukup, dia sudah sampai di titik akhir ... ini waktunya dia melepas, dan mengikhlaskan.
🖇 (NOT) FINALE 🖇
Ibu Seokjin dan dirinya sempat mampir ke TK Fany, hanya untuk menjemput gadis kecil itu. Fany menampakkan senyum cerahnya ketika bertemu dengan Seokjin.
Anak itu memeluk Seokjin dengan penuh rasa rindu. "Akhirnya Papa bisa pulang dari rumah sakit," kata Fany.
Sambil melepas pelukan mereka, Seokjin membalas, "Emangnya Fany kangen sama Papa?"
"Kangen banget, dong!" seru Fany.
"Yaudah nanti kita main bareng, ya?" tawar Seokjin.
"Emangnya Papa udah bisa ajak Fany main?"
"Bisa dong! Sejak kapan Papa nggak bisa ngajak Fany main?" tanya Seokjin.
Tanpa menunggu jawaban Fany, Seokjin tersenyum dan mengusak rambut Fany. "Ayo ke mobil. Nenek nunggu tuh di sana."
Fany mengangguk-anggukan kepala, kemudian menggandeng lengan Seokjin dan berjalan beriringan. "Papa sama nenek naik taksi dari rumah sakit, ya?"
"Iya ... motor Papa 'kan rusak. Lagian, barang-barang Papa selama di rumah sakit tuh banyak, jadi nggak muat kalau ditumpangin di motor. Apalagi ditambah Fany, nanti jadinya malah tumpuk-tumpukkan kayak karung beras ...."
"Ih, Papa! Masa disama-samain sama karung beras, sih!" protes Fany sebal sambil menatap ke atas, ke arah mata Seokjin.
"Anak Papa makin dewasa makin galak, ya. Takut deh Papa jadinya," gurau Seokjin.
"Ih, Papa! Nggak usah nyebelin!"
Setelah itu Seokjin tertawa dan berusaha menggendong Fany, walau tak bisa dipungkiri bahwa tangan sebelah kirinya merasakan nyeri yang lumayan terasa.
Namun Seokjin tiba-tiba teringat Sojung. Dia di sini merasakan rasa nyeri yang bisa dibilang tidak ada apa-apanya, dibanding dengan Sojung yang merasakan nyeri di dadanya untuk menerima kenyataan yang benar-benar menyakitkan.
Seokjin mengulas senyumnya, di dalam hati dia juga berdoa semoga Sojung diberi banyak kekuatan oleh Tuhan untuk melewati semuanya. Seokjin percaya, cepat atau lambat badai pasti akan berlalu.
Dirinya juga berharap, Tuhan mengembalikan hubungan baiknya bersama dengan Sojung.
🖇 (NOT) FINALE 🖇
Author's Note:
HAI GAIS! APA KABAR?!
semoga baik, ya! xixiselamat menunggu untuk kelanjutan cerita di chapter depan. semangat nunggunya!😬❤
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Pak Seokjin
Fanfiction#1 ― Sowjin Sojung itu seorang mahasiswi. Sudah dari dua bulan lalu dia dibebani oleh tugas wajib skripsi, ditambah lagi perintah dosen yang mengharuskannya untuk berulangkali merevisi bab-bab yang ada. Sojung mau saja menyerah, keluar dari kampusny...