lost the baby

15.1K 1.1K 175
                                    


Masih tersisa isakan dari wanita itu. Pilu dan mengakibatkan sesunggukan berkali-kali terdengar. Ayah dan Ibu sebelumnya ada di sana, begitu juga dengan mertuanya yang lebih memilih duduk bergeming meski dengan raut wajah getir. Hingga pada akhirnya harus bersama-sama keluar karena kalimat dari Jeika yang memutuskan untuk menenangkan.

Jeika dan Lalisa telah kehilangan calon anak pertama mereka. Dan Jeika bersikeras bahwa semuanya akan baik-baik saja dengan kembali membuatnya. Harusnya, dengan kalimat itu, Lalisa akan merasa tenang. Mereka belum sempat bertemu Baby, mereka hanya perlu mencobanya lagi. Akan ada Baby yang lebih lucu, yang lebih menggemaskan. Namun, isakan wanita itu semakin kencang. Jeika buru-buru meralat ucapannya.

“Kamu gak salah, mungkin Baby memang lebih suka tempat Tuhan, kan?” Ia menyeka air mata wanita itu, mengecup pipinya sebanyak dua kali.

“Jangan nangis lagi. Kamu mau aku nangis juga?”

Seandainya ia tidak ingat bahwa ia berperan sebagai laki-laki yang harus tegar ketika istrinya merasa terluka, ia akan menangis lebih keras. Lebih dari itu, mungkin ia akan mengumpati semua dokter yang ada di sana. Mengumpati mereka bahwa mereka sangat tidak becus, sangat tidak berguna. Atau mungkin, ia akan lebih gila dari semua hal yang sempat ia pikirkan untuk dilakukan.

“Baby pergi,” isak Lalisa, masih sesunggukan.

“Enggak. Baby ada. Baby kan belum bisa jalan.”

Jeika terkekeh kecil, berniat sekadar membendung sakit yang juga ia rasakan. Ia ikut berbaring di tempat tidur, memeluk wanita itu dengan sayang.

“Pernah berpikir kalau dunia itu gak adil, gak?” tanyanya. Lalisa tidak menjawab. “Aku ngerasa, Tuhan hanya baik sama orang-orang tertentu. Dan kita gak ada di antara orang-orang itu.”

Bukan kalimat yang Lalisa ucapkan sebagai balasan. Setelah berusaha agar tidak sesunggukan, tangannya sebelah kanan ia tempelkan dengan tangan Jeika, menyatukannya hingga menjadi lebih hangat.

“Aku sayang kamu, Sa. Baby juga.”

🌪🌪


Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian itu, Jeika telah selesai berpakaian untuk berangkat bekerja. Sudah dihubungi Rhea pukul tujuh pagi tadi, mengingatkan Jeika agar tidak terlambat. Jam kerjanya dimulai pukul setengah delapan, dan karena kejadian di rumah sakit, ia sering kesulitan tidur hingga bangun terlambat. Ini hari pertamanya setelah izin berhari-hari. Tapi rasanya masih enggan meninggalkan Lalisa sendirian.

“Kamu yakin nggak ikut aku?” tanyanya setelah menyelesaikan sarapan.

Lalisa menggeleng. “Mau beresin kamar.”

“Bisa nanti. Ikut aku aja, ya. Nanti aku kasih boba yang banyak.”

Lalisa tertawa ringan ketika mengingat bahwa ia menjadi penggemar boba semenjak kehamilan trimester pertama. “Nggak, Jei.”

“Nggak apa?”

“Nggak ikut. Kamu buruan, jangan sampai Rhea nelepon lagi.”

Jeika meneguk sisa air putih di dalam gelasnya, lalu melirik jam tangan.

“Kalau ada apa-apa, telepon aja, ya…”

“Hm.”

Jeika kemudian bangkit, membawa tas kecilnya. Disusul Lalisa yang menemaninya berjalan ke depan rumah. Setelah Jeika duduk di atas motornya, ia mengayukan tangan, menyuruh Lalisa mendekat.

“Apa?”

Jeika mendekatkan kepala, mengecup bibir wanita itu sekilas lantas segera memasang helm. “Bisa jangan cemberut gitu? Mau bibirnya aku makan?”

“Jeika!”

Jeika terkekeh, melambai sebentar sebelum akhirnya membawa motor melewati gerbang.

🌪🌪


Pukul enam sore, ketika Lalisa telah melakukan banyak hal, ia berakhir duduk terpaku di atas ranjang, memperhatikan foto hasil USG Baby yang sudah berdiri di atas nakas sejak berbulan-bulan yang lalu. Ia mengusap foto itu, ada coretan tinta dari Jeika berupa ‘Daddy love you’, pun cap bibir merahnya yang saat itu disengajakan memakai lipstick paling merah di antara lipstick lain.

Kemudian, Lalisa bangkit dari sana, berjalan menuju pintu bercat biru yang dikhususkan untuk Baby.

Segala perlengkapan Baby menyapa penglihatannya. Ada belasan balon yang sudah dipasang Jeika dua minggu yang lalu, koleksi robot dan mobil-mobilan. Box bayi, lemari setengah badan yang sudah dipenuhi pakaian, lalu rangkaian nama ‘Deyra Feriza’.

Membaca nama itu, mendadak ada yang memaksa keluar dari matanya, sulit ia tahan hingga luruh membasahi pipi.

Mengapa? Mengapa setelah semua yang mereka lakukan, semuanya terhempas begitu saja?

Dari jutaan wanita yang hamil di dunia ini, mengapa ia yang harus menerima kesakitan itu?

She tried to be tough , but nothing is okay. He’s gone, in the end.

Pintu kamar terbuka semakin lebar. Jeika muncul dengan raut wajah lelah, terdapat garis menghitam di bawah matanya.

“Kamu kenapa?” Ia mendekat, masih dengan tas kecil yang tersampir di pundak. “Baby nendang lagi?”

Lalisa mengusap air mata, memperhatikan Jeika yang sudah menarik salah satu keranjang berisi mainan dan rambut oranye yang harusnya terlihat lucu. Pria itu ingin melakukannya seperti biasa, menjadi badut.

Karena biasanya Lalisa akan tertawa kencang, melupakan rasa sakit di perut lalu menghentikannya untuk tidak bertingkah konyol. Meski sebenarnya, besok harus mengulangnya lagi.

“Jei…”

Jeika masih memasang rambut oranye di kepala. Kebiasaan lupanya terjadi lagi.

“Iya, ini udah aku pasangin.”

Melihat wanita itu masih berwajah murung meski ia sudah bergerak-gerak, Jeika mengernyit bingung.

“Baby udah gak ada.”

Detik itu juga. Jeika berdiri gamang.

 Jeika berdiri gamang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hi. Welcome to Mrs. Dandelion. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, ini cerita yang berlatarkan Jakarta. Dan kata 'Lo, gue' akan ada di saat yang memang dibutuhkan. Jadi, bagi kalian yang tidak terlalu menyukai cerita semi non baku, bisa baca ceritaku yang lain. Thank U😘

Mrs. Dandelion✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang