JK#10

129 81 20
                                    

"Take my hands now, you are the cause of my euphoria."

10 : #Never Enough

🌻🌻



Teriknya matahari mulai menembus kaca bening yang ada di dalam kamar ini. Perlahan aku membuka mata dan melihat di sekeliling. Dimana aku?

Ah, aku hampir lupa kalau aku bermalam di kedai Jimin. Aku tersenyum getir mengingat kejadian semalam dengan Ayah. Aku harap, Suga tidak khawatir sama aku. Aku tidak mau dia kepikiran.

Bangkit dari ranjang mini-size, aku mulai keluar dari kamar itu setelah mendengar suara pintu yang terbuka. Aku tersenyum simpul melihat Jimin yang sudah lengkap memakai seragam putih abu-abunya.

"Lo baru bangun, ya?" tanyanya sambil membuka pintu kulkas.

"Hm, lo rajin amat pagi-pagi gini udah siap."

Jimin tampak mengambil sebuah telur dan beberapa potongan daging ayam. Dia menyalakan kompor gas, lalu menuang minyak goreng pada papan penggorengan dan mulai menggoreng telur sambil membumbui daging ayam yang masih segar itu.

"Nanti malem gue tidur di rumah. Lo tidur disini sendiri nggak papa kan?" ucap Jimin dengan masih sibuk bergulat pada papan penggorengan itu. Tadi malam, Jimin lah yang menemaniku tidur atas permintaanku tentunya.

"Gue mau ke suatu tempat. Gue mau bolos beberapa hari," ujarku sambil duduk di bangku sederhana kedai itu.

"Bolos? Jangan aneh-aneh lo, Jek."

"Gue beneran, Chim."

"Emang mau kemana?" tanyanya mulai serius menatapku.

"Rahasia." ucapku santai sambil menyeruput segelas air mineral yang menganggur di depanku.

"Aish! Nih, makan dulu. Nanti gue bikinin surat ijin kalo lo mati suri."

"Gitu banget lo sama gue."

Aku mulai memakan dengan lahap telur mata kerbau. Eh, telur mata kambing. Eh, bukan. Apa sih? Oh iya, telur mata sapi maksudnya. Tapi, kok rasanya sedikit beda ya. Hambar banget. Apa Jimin kehabisan stok bumbu ya?

"Enak nggak?" tanyanya dan aku jawabi gelengan singkat.

"Enak, tapi... Hambar. Lo kehabisan stok bumbu?"

"Hah? Masa sih? Tadi gue udah taruh garam lo."

"Coba deh lo rasain,"

Aku mulai menyendokkan sesuap telur pada mulutnya. Dia tampak mengunyah telur itu perlahan dengan ekspresi yang sulit gue artikan.

"Setelah gue coba, ternyata iya. Hambar banget, bhahaha. Sorry ya, Jek. Kalo mau buat lagi masih ada tuh telur di kulkas."

"Nggak papa gue suka makanan hambar kaya gini. Sehambar hidup gue."

Jimin tersenyum simpul dan menepuk pelan bahuku.

"Meskipun gue nggak tahu permasalahan lo sama bokap lo apa, tapi inget Jeka. Lo bukan anak yang tidak berguna. Bokap lo begitu karena hati dia masih belum ikhlas sama nyokap lo yang meninggal waktu ngelahirin lo,"

"Tapi itu bukan salah gue, Chim. Gue juga nggak minta dilahirin di dunia ini."

"Lo emang nggak salah. Mungkin bokap lo tipe orang yang nggak mudah ngelupain seseorang. Hingga butuh lama juga dia buat nerima lo. Lo yang sabar aja," ujar Jimin dengan kata sok bijaknya.

JEKA || JJKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang