Teh 1

880 123 2
                                    

"Gue udah tanya orang yang nelfon kepolisian, katanya dia cuma liat orang nyangkut di batu, makanya langsung nelfon polisi, eh taunya malah pembunuhan." Terang Ariel.

Setelah Chika dan Vivi menemukan mayat lagi di saluran pembuangan air, kebetulan mereka mendengar suara teriakan seorang polisi. Mungkin karena penutup saluran itu tidak tertutup, jadi polisi itu berpikir kalau ada seseorang di dalam sana.

Chika menoleh ke arah Vivi yang duduk terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Chika sudah mengganti bajunya dengan pakaian yang sengaja ia simpan di kantor untuk berjaga-jaga, ia juga meminjamkan Vivi pakaiannya.

Dey baru saja masuk ke dalam ruang rapat sambil membawa berkas. Hari ini mereka belum mendapatkan siapa kira-kira pelaku yang melakukan dua pembunuhan ini.

"Gue gak bisa nemuin sidik jari atau sesuatu yang bisa ngarah ke pelaku." Dey meletakkan berkas itu di atas meja, "ujan deres, gak ada yang bisa gue lakuin."

"Hasil otopsi?" Tanya Chika.

Dey menjentikkan jarinya, ia membuka berkas itu dan mengeluarkan beberapa foto dari dalam berkas. "Korban pertama Azizi Asadel, korban kedua Helisma, mereka satu kelas, dan mereka berdua ada orang yang suka bully siswi lain."

"Bales dendam, motif kuat." Ucap Ariel lalu mengambil foto wajah Azizi Asadel.

"Dan dan dan." Ucap Dey membuat semuanya menatap ke arahnya, "lidah mereka berdua sama-sama ilang."

"Hah?"

Dey menganggukkan kepalanya, "Paru-paru mereka hancur, mereka dibekap sampe gak bisa napas, baru kemudian lidah mereka dipotong."

Vivi terdiam, ia mengerutkan keningnya, penjelasan dari Dey mengatakan kalau kedua korban adalah orang jahat yang suka membully orang lain, dan pelaku membunuh dengan membekap dan memotong lidah seolah memberi tahu kalau lidah kedua korban sama sekali tidak berguna selain untuk membully orang lain.

Ini benar-benar hampir seperti Amartia dulu, tapi Amartia tidak pernah membunuh seseorang dalam keadaan hujan deras seperti ini. Vivi harus mencari tahu sendiri siapa pelaku di balik pembunuhan ini dan bertanya apa sebenarnya motif dalam melakukan peniruan terhadap Amartia.

"Ah, kayaknya aku lupa matiin kompor." Ucap Vivi kemudian berjalan pergi dari ruang rapat.

Chika menoleh ke belakang, apa mungkin otak Vivi ikut konslet waktu terbentur tadi sehingga Vivi menjadi seperti itu. Padahal mereka berdua tadi sempat bercanda satu sama lain di dalam saluran pembuangan air, tapi setelah keluar, Vivi memilih untuk berdiam diri.

Vivi harus segera pergi ke kafenya, menemui Ara untuk menceritakan apa saja yang sudah ia alami hari ini, mungkin Ara memiliki saran yang tepat atau bisa jadi ia meminta Ara untuk mencari pelaku pembunuhan ini. Lagian mereka berdua adalah Amartia, mencari satu orang merupakan satu hal yang sangat mudah.

Vivi berjalan masuk ke dalam cafe, lalu ia  menuju belakang meja kasir lalu ia menuangkan air putih dingin ke dalam gelasnya. Ia melihat cafenya yang lumayan ramai, mungkin ia harus merekrut pegawai baru untuk mengurusi kafe ini.

"Jidat lo kenapa?" Tanya Ara sambil menunjuk pelipis Vivi menggunakan dagunya.

Vivi meletakkan gelas di atas meja, ia menyentuh plester yang ada di pelipisnya. "Kebentur batu."

"Berdarah?"

"Heem."

Ara membulatkan matanya, ia belum pernah melihat Vivi terluka sejak pertama disuntikkan sebuah zat khusus di dalam tubuh Vivi pada waktu usia 5 tahun. Kulit Vivi terasa sangat tebal dan susah untuk di tembus, lagi pula zat itu yang membuat Vivi sangat lama untuk bertambah dewasa.

DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang