"Ayo semuanya yang masih bisa jalan silakan jalan ke depan Pura, bentar lagi polisi dateng." Ucap Vivi sambil berjalan masuk ke dalam bangunan itu.
Semua orang yang merasa masih memiliki tenaga untuk berjalan langsung mengikuti ucapan Vivi tadi. Mereka secara bersamaan berjalan menuju depan Pura untuk menunggu mobil polisi dan ambulan.
Vivi menurunkan kaca matanya, ia melangkahi potongan-potongan bangunan di bawah. "Yang merasa gak bisa jalan silakan teriak."
"Aahhh!"
"Tolong!"
"Aku!"
"Takut!"
Semuanya langsung berteriak secara bersamaan, Vivi menghela napas panjang, ia bukan manusia super yang memiliki kekuatan besar untuk menyelamatkan manusia. Ia berjalan ke sumber suara yang cukup dekat dengan posisi ia berdiri.
Di sudut bangunan yang masih kokok ada anak kecil berusia 4 tahun yang duduk di pojokan sambil memeluk kedua lututnya seolah ketakutan. Vivi perlahan menghampiri anak itu, dilihat secara sekilas, tidak ada luka fisik di tubuh anak itu, mungkin karena syok jadi ketakutan seperti ini.
"Ayo, gapapa." Vivi mengulurkan tangannya ke arah anak kecil itu.
Kepala anak kecil itu menggeleng kuat, ia semakin mengeratkan pelukannya dan tidak mau ikut orang asing seperti Vivi.
Vivi mengusap kasar wajahnya, ini akan menjadi sulit jika seperti ini terus. Vivi memutar tubuhnya membelakangi anak itu kemudian ia berjongkok di depan anak itu.
"Ayo naik." Ucap Vivi sambil menoleh ke belakang. "Kamu pengen ketemu temen-temenmu, kan?"
"Iya."
"Ayo naik, bentar lagi kamu ketemu temen-temenmu." Ucap Vivi.
Perlahan anak itu berdiri dan memeluk tubuh Vivi dari belakang, tangannya berada di leher Vivi. Vivi tersenyum tipis, ia berdiri sambil menahan berat tubuh anak itu menggunakan kedua tangannya. Ia tidak terlalu buruk dalam hal menggendong anak kecil.
“Takut.” Ucap anak itu dengan suara yang bergetar.
Vivi menoleh ke samping, ia tersenyum kecil. “Gapapa, kita tolong yang lain, ya.”
Vivi berjalan menyusuri tempat-tempat itu untuk mencari seseorang yang sekiranya bisa ia bantu untuk keluar dari tempat ini sebelum bom susulan meledak sama persis kejadian saat di ragunan kemarin. Setidaknya Chika masih berada di luar jadi tidak ada bom yang meledak untuk membahayakan nyawa Chika.
“Itu-itu.” ucap anak itu sambil menunjuk ke seorang guru yang sedang duduk di lantai dengan meja yang menindih satu kakinya.
Vivi langsung berjalan sesuai dengan petunjuk anak kecil itu, ia menurunkan anak kecil itu lalu mencoba sekuat tenaganya untuk mengangkat meja dari kaki guru TK itu. Ia tidak mengerti mengapa pelaku selalu mencari tempat yang ramai yang bisa menimbulkan banyak korban jiwa.
“Kakinya bisa gerak?” tanya Vivi sambil mengangkat meja itu.
Guru TK itu menggelengkan kepalanya pelan, ia sudah tidak memiliki tenaga yang tersisa lagi. Vivi menoleh ke kaki guru TK itu, ia tidak melihat adanya darah di sekitar kaki guru TK, tapi kaki guru itu tidak bisa digerakkan, itu artinya guru TK itu mengalami patah tulang.
“Aku bantu.” Chika tiba-tiba berdiri di samping Vivi, ia menarik tubuh guru TK itu sehingga kaki guru TK itu bisa keluar dari meja yang sedang di angkat Vivi.
Chika membaringkan tubuh guru itu, ia mengambil ponselnya dan menghubungi tim medis agar segera masuk sambil membawa tandu dan membantu menemukan korban yang lainnya. Vivi meletakkan meja itu perlahan ke bawah, ia menatap Chika yang sedang fokus kepada guru TK itu. Seharusnya Chika tidak boleh berada di dalam bangunan ini karena bisa jadi ada bom susulan lagi.