Teh 3

743 113 5
                                    

Sudah hampir satu jam Vivi duduk di sofa di dalam ruangan dengan luas tidak lebih dari 8mx8m ini. Aroma lavender dari pengharum ruangan Stella yang sudah menyemprot kurang lebih 6 kali dalam kurun waktu 60 menit sudah cukup membuat ruangan ini seperti kebun lavender. 

“Ada begitu banyak hal yang terjadi di hidupmu dalam satu kali waktu.” Ucap Fiony yang duduk di depan Vivi.

Vivi menganggukkan kepalanya, “Iya.”

“Kamu adalah pemimpin Amartia?”

Lagi-lagi Vivi menganggukkan kepalanya, ia memajukan pantatnya sedikit ke depan karena punggungnya sudah pegal bersandar terus. “Itu dulu.”

“Barangmu dicuri, kamu jadi rentan, dan ibumu kembali.” Ucap Fiony.

“Gak ada yang lebih buruk dari itu semua, kan? Tapi aku udah ngerelain kontainerku.” 

Sebagai seorang psikolog, Fiony tidak menghakimi Vivi apapun masa lalu atau tindakan Vivi, ia harus menempat posisinya sesuai dengan porsinya. Sedari tadi Vivi juga sudah menceritakan segala hal tentang hidup Vivi kepada dirinya, ia sama sekali tidak melihat kebohongan dari bola mata Vivi.

“Apa yang akan kamu lakuin saat Ara mengambil salah satu bajumu?” tanya Fiony.

Vivi terdiam sebentar, ia mendongakkan kepalanya ke atas untuk membayangkan jika Ara benar-benar mengambil salah satu bajunya. “Gak ada.”

“Gak ada?”

“Aku punya baju banyak, punya uang banyak juga, kalo emang Ara pengen bajuku ya udah biarin aja. Toh aku bisa beli lagi.” Terang Vivi.

Fiony mengangguk-anggukkan kepalanya, ini bukan berarti karena Vivi bisa membeli apa saja, tapi itu karena Vivi menganggap baju itu sama sekali tidak penting. Hal ini juga berlaku pada kontainer Vivi yang hilang dan Vivi memutuskan untuk membiarkan begitu saja.

“Apa kamu punya sesuatu yang berharga yang gak dipunya orang lain?” tanya Fiony untuk terus memancing agar Vivi mau mengutarakan apa yang sebenarnya.

Vivi lagi-lagi terdiam, ia menatap telapak tangan kanannya, benaknya bertanya-tanya apa yang paling berharga dalam hidupnya ini. Ia menatap ke arah Fiony lalu menggelengkan kepalanya, ia merasa tidak memiliki sesuatu yang berharga, ia bisa membeli semuanya.

“Gak ada?” tanya Fiony. Vivi menurunkan tangannya lalu menggeleng pelan.

Fiony tersenyum tipis, ia jadi teringat kalau Ara pernah bercerita kepada dirinya kalau Vivi memiliki seseorang yang membuat Vivi sedikit berubah dan berbeda dari biasanya. Sekarang ia harus memutar otaknya untuk membuat Vivi menyebutkan nama Chika.

“Kamu kan udah gak abadi, kalo kamu meninggal besok, siapa saja orang yang akan kamu temui?” tanya Fiony, ia yakin kalau Vivi pasti akan menyebutkan nama Chika.

“Mungkin gak ada.”

“Kenapa mungkin?”

“Terlalu menyakitkan mengetahui seseorang yang hari ini masih hidup, masih bisa bercanda bersama, tapi besoknya sudah tiada. Aku gak mau menyakitinya.” Lirih Vivi.

Fiony tersenyum, walaupun Vivi tidak mau menyebutkan nama Chika, tapi Vivi memberikan lebih banyak dari yang ia butuhkan, dan sekarang ia hanya perlu mendengar nama Chika keluar dari mulut Vivi.

“Kamu gak mau nyakitin siapa?” tanya Fiony.

Vivi menatap ke arah Fiony, “Si detektif, Chika.”

“Walaupun kamu gak ngaku punya sesuatu yang berharga, tapi tanpa kamu sadar Chika adalah seseorang yang berharga buat kamu karena kamu gak mau Chika terluka. Chika adalah orang yang spesial untuk kamu. Apa jadinya kalau seseorang mengambil Chika besok?”

DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang