"Ayo ucapin sesuatu." Ucap Ara sambil menendang kecil punggung salah satu dari dua orang yang ia tangkap di rooftop barusan.
Vivi melipat tangannya ke depan dada, ia menatap tajam ke dua orang itu. Ia tidak tahu kalau dirinya bisa pingsan begitu saja setelah ditimpuk oleh kayu di belakang kepalanya. Shani juga sudah sadar beberapa menit yang lalu, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Ayo, susah banget disuruh ngomong doang." Ara menepuk kepala dua orang itu secara bergantian.
Vivi mengambil ponsel yang tergeletak di bawah, "Ini isinya apa?"
Dua orang itu hanya diam saja dan tidak menjawab pertanyaan Vivi. Mereka berdua adalah suruhan dari si Rabbit untuk mengambil ponsel yang tertinggal di rooftop, karena ponsel itu sangat penting bagi si Rabbit.
"Oh gak mau jawab, ya." Vivi menatap ke arah Ara, ia tersenyum tipis, "Kasih tahu, Ra."
"Tentu saja."
Selagi Ara melakukan tugas yang disebut 'memberi tahu' dengan sedikit kekerasan mungkin Ara akan menggunakan pukulan dan sedikit tendangan untuk membuat salah satu dari kedua orang ini mengeluarkan suara. Kalau tidak ada Chika, Vivi bisa melakukan apapun sesuka hatinya.
Vivi menunggu Ara, ia mengotak-atik isi dari ponsel itu. Kalau pun tidak ada yang penting, pasti tidak mungkin Rabbit mengirimkan dua orang payah ini kepada dirinya. Shani berjalan menghampiri Vivi, ia penasaran dengan yang dilakukan Vivi.
"Coba ibu lihat." Ucap Shani.
Vivi menoleh, ia memberikan ponsel itu kepada Shani. Dan sama seperti dirinya, Shani juga terlihat kebingungan mengotak-atik ponsel itu. Ponsel dengan merk Nokia 1110 itu terus diputar-putar, mereka berdua berusaha untuk menyalakan layar ponsel tapi tidak bisa, jadi mereka yakin kalau ada tombol lain di sekitar ponsel itu.
"Kok gak ada sih?" Gumam Shani.
"Seharusnya dipencet tombol merah kan langsung bisa." Ucap Vivi sambil menunjuk tombol merah di pojok kanan nomer dua.
Shani menatap ke arah Vivi, "Ini kalo dibanting gapapa, kan?"
Vivi membulatkan matanya, ia langsung merebut ponsel itu dari tangan Vivi. Begini jadinya kalau berpuluh-puluh tahun hidup di dalam penjara, selalu menggunakan kekuatan fisik, bukannya kekuatan otak.
"Ntar kalo dibanting keluar bunyinya, aiaiaia menjadi gemuk pantai." Ucap Vivi.
"Oke-oke, gue ngaku." Ucap salah satu orang setelah mendapat pukulan telak di dagunya.
Vivi menoleh, ia tersenyum kecil melihat hasil karya Ara di wajah kedua orang itu, dan yang lebih melegakan lagi, akhirnya mereka berdua mau berbicara.
"Kita disuruh Rabbit buat ngambil hapenya di sini, tapi kita gak dikasih tahu itu hape isinya apa." Ucap orang itu sambil meringis menahan sakit.
Vivi mengerutkan keningnya, ia hendak meminta agar Ara kembali menghajar dua orang itu yang sama sekali tidak memberikan jawaban yang memuaskan dirinya.
"Silakan. Mau mukul atau nendang. Kita gak peduli lagi. Daripada hidup dengan kegagalan kayak gini, lebih baik kita mati. Gue gak mau ketemu Rabbit."
Vivi tersenyum miring, ia baru mengetahui satu sifat yang dimiliki oleh si Rabbit, yaitu haus akan kemenangan. Rabbit merasa kalau sudah membunuh satu nyawa, itu artinya satu pijakan menuju kemenangan. Tapi kalau dua cecurut ini gagal, mau tidak mau Rabbit harus turun dua tangga, karena informasinya sudah tersebar.
"Ah, gue punya ide yang cemerlang." Ucap Vivi sambil tersenyum-senyum bahagia.
Ara berjalan menghampiri Vivi, "Apa?"