Espresso 7

646 115 14
                                    

“Sekali aja percaya sama Vivi.” ucap Ariel yang terus mengingatkan agar Chika tidak usah membuntuti Vivi terus.

Chika membuka pintu ruangannya sambil mengangguk kecil, “Iya-iya.”

“Pulang, tidur, kasian Ketlin.”

Chika menghela napas panjang, sekarang sudah jam 10 malam. Dua pembunuhan beruntun dengan waktu yang singkat membuat pihak kepolisian benar-benar kebingungan, apalagi belum ada petunjuk yang jelas mengenai pelaku itu.

Ariel sedari tadi memaksanya untuk pulang dan melepaskan kasus ini sampai surat ijin turun, baru mereka bisa bergerak ke BNI tower. Chika berjalan menuju meja kerjanya, ia menoleh dan melihat Ariel masuk ke lab Dey, mungkin Ariel dan Dey sedang membicarakan tentang kasus pembunuhan malam ini.

Chika menata meja kerjanya, bola matanya menangkap berkas milik Rani. Chika mengambil berkas itu, awalnya ia berniat untuk meminta Vivi menanyai Rani, tapi sekarang Vivi malah pergi dengan alasan yang aneh.

Chika menatap ke lab, ia melihat Dey dan Ariel yang asik berdiskusi. Chika berjalan cepat keluar dari ruang itu, ia menuju tempat dimana Rani berada. Ia tersadar kalau Rani pasti punya alasan kuat kenapa waktu itu Rani menusuk pinggang Vivi.

“Detektif.” Sapa penjaga ruangan penahan Rani.

Chika berjalan mendekati penjaga itu, “Aku mau ketemu sama Rani.”

Penjaga itu menganggukkan kepala, ia menunjukkan jalan menuju ruangan dimana Rani berada. “Sesuai permintaan, Rani ditempatkan di ruangan yang terpisah.”

“Makasih.”

“Sama-sama.”

Sebuah ruangan khusus yang dihuni Rani untuk sementara waktu, karena Rani termasuk saksi dan pelaku kejahatan, lagipula Rani masih SMA, mungkin setelah beberapa hari atau minggu Rani akan bebas. Ruangan itu serba tembus pandang, jadi penjaga bisa mengawasi Rani dari luar.

Chika berdiri di depan sebuah pintu akrilik yang memiliki beberapa lubang untuk berbicara. Ia mengetuk pintu akrilik tiga kali. “Hai, Rani.”

Rani menoleh ke arah Chika lalu tersenyum, “Bukankah ini sudah terlalu larut untuk sebuah interograsi?”

Chika mengangguk kecil, ia melipat tangannya ke depan dada, “Bener, tapi aku cuma mau nanya beberapa pertanyaan.”

Rani berjalan mendekati Chika, kini mereka hanya berjarak pintu akrilik yang tembus pandang itu, “Silakan.”

“Tadi aku pernah nanya kenapa kamu nusuk Vivi, tapi menurutku jawabanmu gak masuk akal.”

Rani tertawa kecil, ia menggelengkan kepalanya pelan, “Emang kenyataannya kayak gitu.”

“Pasti ada alasan lain. Apa yang terjadi waktu itu? apa yang terjadi dengan Vivi sampai kamu nusuk dia?” tanya Chika.

Rani mengangkat kedua bahunya ke atas, “Tanpa alasan.”

“Dilihat dari beberapa pisau cadangan yang kamu sembunyikan, sepertinya kamu punya persiapan matang.”

Rani terdiam sebentar, ia menatap ke arah Chika, alasan ia menusuk Vivi adalah karena Vivi seorang pemimpin Amartia yang kabur selama 6 tahun. Tidak ada alasan khusus, ia hanya berniat menghabisi Vivi sejak melihat Vivi melompat dari jendela.

“Mungkin ini udah cukup, aku mau tidur.” Rani berjalan mendekati sebuah ranjang yang ada di sana. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, memutar tubuhnya menjadi membelakangi Chika.

Chika mengusap kasar wajahnya, ia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Rani. Chika mengangguk kecil, ia berjalan meninggalkan Rani di ruangan itu. Ia mengucapkan terima kasih kepada penjaga itu.

DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang