Espresso 5

620 118 12
                                    

"Apa bener dia yang nusuk Vivi?" Tanya Ariel.

Chika mengangguk kecil, sekarang mereka sedang berada di sebuah ruangan kecil yang dimana mereka bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi ruang interograsi, tapi orang yang berada di ruang interograsi tidak bisa melihat mereka.

"Tapi aku harus mastiin langsung." Ucap Chika, ia memang sengaja membiarkan anak perempuan itu di dalam ruang interograsi sendirian, ia hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan anak perempuan itu.

Sampai sekarang anak perempuan itu belum memberi tahu siapa namanya kepada Chika atau petugas polisi yang lainnya. Kalau dilihat dari cerita Vivi dan yang lainnya, mereka menjelaskan kalau anak perempuan itu bukan anak biasa, makanya Chika jadi penasaran.

Vivi sedang menjalani perawatan di rumah sakit, sehingga tidak bisa membantunya menyelesaikan kasus ini bersama. Tak apalah, yang terpenting kesembuhan Vivi terlebih dahulu.

"Mau gue temenin?" Tanya Ariel.

Chika menggeleng pelan, "Gak perlu, kak Ariel nunggu di sini aja. Setelah aku dapet nama anak yang dibunuh, kak Ariel langsung cari detailnya."

"Okelah."

"Aku keluar dulu."

Chika berjalan keluar ruang itu, Chika menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam ruang interograsi. Kalau dipikir lebih dalam lagi semakin ia mencari tahu siapa pelaku pembunuhan berantai ini, semakin banyak kejadian aneh yang terjadi.

Chika meletakkan berkas yang ia bawa di atas meja, ia menarik satu kursi di depan anak perempuan itu lalu mendudukinya. Ia membuka berkas itu, menyiapkan bolpennya, dan mulai berusaha mencari tahu siapa nama anak perempuan ini.

“Hasyakyla bunuh diri dua hari yang lalu, pak Marlo melompat dari rooftop, seseorang kamu tusuk sampai meninggal di atas rooftop dan mayatnya disembunyikan, sebentar lagi kami akan dapat nama orang itu. Rekanku kamu tusuk dari belakang. Aku gak akan ngeremehin kamu, ja-“

“-Rani.” Ucap anak perempuan itu yang akhirnya mengakui namanya sendiri.

Chika tersenyum lega, akhirnya ia bisa mendapatkan nama orang di depannya ini. Chika meletakkan bolpennya di atas meja, ia melihat badge di lengan kiri Rani. “Oke, Rani, kamu kelas 11, kan?”

“Ya.”

“Siapa yang kamu bunuh tadi? Kami gak bisa ngenalin wajahnya, karena wajahnya udah hancur.” Ucap Chika, ia meletakan kedua tangannya di atas meja.

Rani memalingkan wajahnya, kedua tangannya masih diborgol, “Aku gak tahu.”

“Kami berhasil meretas akun milik Marlo, kalo ka-“

“-Adisty Zara.”

Chika membulatkan matanya, ia sedikit terkejut dengan yang diucapkan Rani barusan. Ia berdehem kecil untuk menghilangkan rasa terkejutnya, semua hal yang terjadi membuatnya benar-benar pusing.

“Kenapa kamu nusuk Zara?”

Rani menatap ke arah Chika dengan tatapan tajam, “Dia bajingan.”

“Atas dasar apa kamu bisa mengatakan kalau dia orang seperti itu?”

“Dia bunuh Kyla dengan maksa buat bunuh diri, dia pantas dihukum sebelum mati.”

Chika tertegun, kalimat Rani yang barusan itu beberapa kali pernah ia dengar dari mulut Vivi, kalau seseorang harus dihukum sebelum meninggal, karena Vivi tidak bisa menghukum orang yang sudah meninggal.

“Kamu tahu Amartia?”

Rani terdiam sebentar, ia menundukkan kepalanya, “Ya.”

Wajar sih kalau Rani bisa tahu tentang Amartia walaupun nama Amartia sudah tidak terdengar selama 6 tahun, usia-usia se Rani memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi ia tidak terlalu terkejut lagi mendengar penyataan Rani.

DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang