Sprite 1

680 118 34
                                    

Malam ini hujan turun cukup deras tapi tidak ada suara guntur, seolah awan hanya ingin menangis saja. Musik mengalun pelan sejak tempat ini dibuka pada pukul 5 sore. Sudah lebih dari 10 lagu memenuhi tempat ini dan sepertinya tidak ada tanda-tanda kelelahan dari sang penyanyi.

Beberapa orang mulai ikut menyanyikan lagu milik band The Police yang rilis tahun 1979, tidak heran jika sebagian besar orang tahu lagu ini, karena tempat ini hampir sebagian besar dikunjungi oleh paruh baya.

Vivi memutar-mutar gelas yang ada di depan mejanya. Sudah hampir dua jam lebih ia duduk di bar dalam tempat ini. Hari sudah berlalu, seharusnya tadi siang ia menjalani balapan motor di sentul, tapi ia malah memilih untuk bersembunyi di sebuah Pub yang cukup terkenal di Jakarta, The Jaya Pub.

Kejadian kemarin dimana ia dengan mudah menusukkan pisau ke dada Mira masih membayang-bayangi pikiran dan juga hidupnya. Bahkan Vivi tidak bisa tidur semalam hanya karena merasa bersalah kepada Mira.

"Tambah lagi?" Tanya seorang pelayan Pub yang tiba-tiba ada di depan Vivi.

Vivi mengangkat kepalanya, ia melihat sebuah botol cukup besar yang digenggam dengan erat oleh pelayan Pub itu. Vivi tersenyum tipis, ia menggelengkan kepalanya pelan. Minumannya di dalam gelas masih tersisa seperempat dan sudah 6 kali ia meminta pelayan itu untuk menuangkan minuman di dalam gelasnya.

"Hujan deres, lumayan sepi, suasananya emang cocok buat galau." Ucap perempuan itu sambil menggosok sisi gelas sampai mengkilap.

Vivi tidak tahu minuman apa yang ia pesan, ia tidak merasakan rasa cocktail atau martini atau lemonade atau es jeruk lainnya. Ia tadi hanya memesan segelas alkohol kepada perempuan itu dan minuman bening dengan beberapa gelembung udara di dalam minumannya inilah yang diberikan kepada dirinya.

"Apa kamu-" Vivi menghentikan ucapannya, ia menatap perempuan yang masih berdiri di depannya. Ia menaikkan satu alisnya dengan dalih menanyakan nama perempuan itu.

"Oh, sorry." Perempuan itu meletakkan gelas yang sudah ia gosok berulang kali di atas meja. "Aku Winda."

Vivi mengangguk kecil, ia melihat gelas yang sebelumnya digosok oleh perempuan bernama Winda. Kini benaknya Vivi bertanya-tanya sudah berapa banyak jin yang keluar dari gelas itu.

"Pernah merasa bersalah?" Tanya Vivi lalu menghabiskan sisa minuman dari gelasnya.

Winda mengambil botol yang tadi ia pegang, ia tuangkan isi botol itu ke dalam gelas milik Vivi hingga kembali penuh lagi. Sudah bertahun-tahun Winda bekerja di Pub ini, sampai-sampai ia tahu siapa orang yang hanya ingin bersenang-senang atau hanya untuk minum sama seperti yang dilakukan oleh Vivi.

"Mungkin." Jawab Winda.

Vivi menatap gelasnya yang kembali penuh, ia melihat bayangannya di permukaan minumannya. "Pernah ngelakuin sesuatu yang buruk sama orang lain?"

"Semua orang pernah salah, aku bukan Tuhan yang gak pernah salah." Jawab Winda sambil meletakkan botol yang sedari tadi ia bawa.

Vivi menoleh ke samping, ia melihat ke jendela, hujan masih turun dengan sangat deras. Semalam setelah ia membunuh Mira dan mengantarkan Ara ke rumah sakit, Vivi kembali ke gedung tua, ia membawa tubuh Mira yang sudah tidak bernyawa ke sebuah hutan yang sangat jauh dan tidak pernah tersentuh. Ia mengubur mayat Mira di sana.

"Tapi setiap kesalahan pasti mendapat pengampunan dari Tuhan." Ucap Winda.

Vivi masih menatap ke samping, "Tapi gak buat aku. Kesalahanku terlalu fatal."

"Tuhan itu memaafkan."

Vivi tidak menggubris ucapan Winda, ia melihat ke layar ponselnya yang menampilkan pemberitahuan kalau seseorang dengan nama 'Sayangnya Aku'. Vivi membalikkan layar ponselnya agar Chika tidak bisa mengganggunya.

DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang