"Jadi ibumu belum ketemu?" Tanya Fiony.
Vivi menggelengkan kepalanya, ia menegakkan tubuhnya, tangannya menuang air putih dari teko air kaca ke dalam gelas. "Belum."
"Mau cerita tentang ibumu?"
Vivi menatap Fiony sebentar, ia meminum air putih dari gelas itu. "Bakal rumit kalo diceritain dari awal."
"Aku pengen tahu."
"Oke," Vivi menegakkan tubuhnya, ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Mulai hari ini ia akan menjadi langganan sesi dengan Fiony, jadwalnya sudah diatur oleh Ara, jadi ia akan diberitahu oleh Ara kapan ia harus mendatangi Fiony.
"Ayah sama ibu itu sebenernya kayak manusia biasa. Mereka jatuh cinta, menikah, punya anak. Semuanya berjalan sempurna dan indah, sampai suatu hari ayah mulai sibuk di lab dan mendirikan Amartia. Ibu awalnya sangat baik, tapi lama kelamaan ibu jadi dingin dan menjauh dari kami. Mereka berdua mengabaikan keluarga mereka." Terang Vivi.
"Dan salah satu anaknya berbuat ulah?"
Vivi menganggukkan kepalanya, "Tepat sekali."
Vivi mendongakkan kepalanya, ia kembali mengingat saat-saat dimana ia menjadi bahan percobaan ayahnya. Berbagai macam cairan sudah masuk ke dalam tubuhnya dan perutnya yang menjadi korban. Pernah suatu hari ia menghancurkan lab milik ayahnya hanya karena ia kesal ayahnya selalu berada di lab, dan hal itu membuatnya harus memimpin Amartia.
"Ayah marah." Ucap Vivi, "Dia membuangku dengan menjadikanku pemimpin Amartia."
"Apa yang dilakukan oleh ibumu?"
Vivi tersenyum kecut, "Gak ada, ibu cuma diem dan membiarkan hal itu terjadi."
Fiony mengangguk-angguk kecil, ia melihat sorot luka dari bola mata Vivi. "Lalu?"
"Kamu tahu kalo aku abadi, kan? Yah, walaupun sekarang udah enggak."
"Iya."
"Beberapa puluh tahun setelah aku mimpin Amartia, ibu diusir dari rumah karena berniat membunuh seluruh manusia. Ayah memenjarakan ibu dan aku yang jadi penjaganya. Jadi aku melakukan apa yang dia lakukan kepadaku."
Vivi menjeda ucapannya, ia menatap ke arah Fiony, "Diam aja."
"Kamu merasa gak harus disalahkan karena ibumu kabur?"
Vivi menggeleng pelan, "Itu urusan ibu dengan ayah."
"Trus salahnya siapa?"
Vivi mengangkat kedua bahunya ke atas, "Ini semua gak akan terjadi kalau Aiko jaga penjara itu dengan benar."
"Aku pikir itu tugasmu." Ucap Fiony sambil menunjuk ke arah Vivi.
"Dulunya, tapi setelah aku keluar, itu jadi tugasnya Aiko."
"Seperti ada beberapa orang yang kamu salahkan."
"Yap."
"Apakah ada sesuatu yang kamu lupain?"
Vivi terdiam, ia menatap pengharum ruangan yang baru saja menyemburkan pewangi. Benaknya kini bertanya-tanya apakah memang benar semua orang salah dan dirinya yang benar atau mungkin ini hanya akal-akalan untuk mencari alasan saja.
"Mungkin kamu bener." Ucap Vivi.
"Apa?"
"Aku nyalahin semua orang, dan faktanya adalah aku memilih untuk gak ngelakuin apa-apa waktu ibuku diusir, aku gak pernah nanya alasannya diem aja waktu aku diusir. Jadi itu salahku."
Fiony tersenyum kecil, "Itu hal yang bagus."
Vivi menggelengkan kepalanya, "Gak, ini gak bagus."