Sprite 2

615 125 28
                                    

Vivi memutar-mutar bolpen di tangan kirinya, mulutnya sibuk mengunyah roti isi milik Chika. Ia memakan bekal Chika di atas meja kerja Chika, di sana juga ada botol minuman yang ia ambil dari kulkas yang ada di kantor polisi.

Saat di perjalanan menuju ke kantor polisi, Vivi sempat mampir ke toko pakaian dan mengganti semua pakaiannya. Ia juga mampir ke masjid untuk mandi dan berganti baju, tak lupa ia memasukkan uang ke dalam kotak amal sebagai biaya mandi.

Kepala Vivi menoleh ke samping, ia melihat pintu interograsi. Chika dan Ariel sedang menginterograsi seorang saksi yang menemukan tubuh Winda pertama kali.

Vivi merasa kalau bersama Chika, ia bisa sedikit melupakan kesalahannya membunuh Mira. Ada rasa tenang dan nyaman yang diberikan kepada Chika untuk dirinya. Seharusnya semalam ia langsung menemui Chika dan ia tidak perlu pergi ke bar dan meminum semua jenis minuman yang ada.

"Dasar ayah sialan." Gumam Vivi, ia menarik kertas yang tertempel di botol minuman lalu langsung meminumnya.

Kalau saja ayahnya Vivi tidak mengirim Mira untuk menjemput ibu kembali ke Fylaki, pasti semua ini tidak akan terjadi. Kalau ayahnya mengirim orang lain atau salah satu anggota Amartia, pasti Vivi tidak akan merasa bersalah seperti ini. Semua ini memang salah ayahnya.

"Ntar biar gue ke sana lagi." Ucap Ariel sambil berjalan keluar dari ruang interograsi.

Chika menganggukkan kepalanya, "Pastiin kak Ariel meriksa bagian belakang rumahnya."

Wawancara dengan saksi sama sekali tidak membuahkan hasil karena tukang koran itu tidak melihat siapa-siapa selain Winda yang tergeletak dengan berlumuran darah. Oleh karena itu sembari menunggu Dey selesai bereksperimen, Chika meminta agar Ariel kembali ke rumah korban dan mencari petunjuk baru.

"Oke." Ucap Ariel kemudian berjalan pergi meninggalkan Chika.

Vivi memangku kepalanya menggunakan telapak tangan kanannya, ia tersenyum tipis melihat Chika berjalan ke arahnya setelah Ariel pergi. Chika tidak bisa berpura-pura tidak tersenyum saat melihat senyum Vivi. Percayalah, senyum itu menular.

"Apa senyum-senyum?" Ketus Chika sambil meletakkan berkas di atas meja, tapi ia sendiri juga masih tersenyum-senyum.

Vivi menegakkan tubuhnya, "Kamu juga."

"Itu, kan, gara-gara kamu duluan yang senyum."

Vivi tertawa kecil, "Senyum itu ibadah."

Chika tidak menghiraukan ucapan Vivi, ia melihat penampilan Vivi dari atas ke bawah. Kini Vivi terlihat sedikit rapi dengan celana jins dan kaos warna hitam. Bau tubuh Vivi pun sudah berganti menjadi bau yang sangat harum, bau alkohol sudah hilang.

"Kamu mandi di mana?" Tanya Chika yang melihat rambut Vivi sedikit basah.

Vivi mengangkat tangannya lalu menyentuh rambutnya, "Di masjid, yang kebersihan kamar mandinya terjaga."

"Oh, aku pikir di sini." Gumam Chika.

"Emang kenapa kalo di sini? Mau ikut?" Tanya Vivi sambil menaik turunkan alisnya.

Chika tertawa kecil, ia mengambil berkas di atas meja lalu berjalan meninggalkan Vivi, "Itu kan mau mu."

Vivi tersenyum melihat Chika yang sedikit malu-malu dan memilih berjalan pergi. Vivi mendongakkan kepalanya, senyumnya yang sedari tadi terlihat sekarang langsung luntur begitu melihat wajah seseorang yang sudah lama tidak ia lihat, kini berdiri di koridor lantai dua.

Kaki Vivi mendorong kursi yang ia duduki ke belakang, ia berjalan cepat menaiki tangga dan menemui saudarinya yang baru menampakkan diri setelah sekian purnama.

DetektifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang