Vivi membuka pintu kulkasnya, ia mengeluarkan air dingin dan ia letakkan di atas meja. Ia sudah meletakkan ibunya di kamarnya dan memastikan ibunya tertidur di tempat yang nyaman.
"Sekarang kita nyari siapa?" Tanya Vivi sambil menuangkan air dingin ke dalam gelasnya di atas meja.
Aiko merogoh kantong sakunya, ia mengeluarkan selembar kertas dan ia letakkan di atas meja. Vivi meletakkan gelasnya kembali ke atas meja, ia tidak jadi meminum air dingin itu, tulisan beberapa nama di kertas itu lebih menarik daripada rasa hausnya.
Vivi mengambil kertas itu, ia membaca sekilas daftar nama buronan di kertas itu. Ia tersenyum miring, "Jadi dia belum mati?"
Ara terdiam ia mengetuk-ngetuk jari tangannya di atas meja. Baik Ara maupun Aiko sama-sama tahu siapa yang dimaksud oleh Vivi. Seseorang yang mungkin sedikit ditakuti oleh Aiko, tapi tidak dengan Vivi. Vivi selalu tertarik untuk berkelahi dengan orang buronan ini.
"Selama kabur dia udah bunuh puluhan atau ratusan orang dengan embel-embel Amartia. Ayah mau kita bawa balik dia dalam keadaan hidup." Jelas Aiko.
Ara meletakkan kepalanya di atas meja, "Dia bukan orang biasa."
"Sejak awal gak ada orang biasa dari tempat kita." Vivi tersenyum tipis, ia meletakkan kertas itu di atas meja. Ia benar-benar terlihat senang setelah diperintahkan untuk membawa pulang seorang yang dulu ia kagumi.
"Ayah minta kalo kita gak boleh bunuh dia." Ulang Aiko saat melihat ekspresi wajah Vivi.
Vivi tersenyum lebar, ia melihat telapak tangan kanannya. "Gak ada yang tahu sampai kita ketemu sama orangnya."
"Kita juga gak boleh bunuh siapapun." Ucap Aiko lagi.
Vivi menoleh ke arah Aiko, ia mengerucutkan bibirnya, "Kok gitu? Udah lama gue gak denger jeritan orang."
Aiko menggelengkan kepalanya, ia mengambil kertas di atas meja lalu ia masukkan ke dalam sakunya. Ia sebenarnya bisa melakukan tugas ini sendirian, tapi ia membutuhkan bantuan Vivi dan Ara agar tugasnya ini cepat selesai. Setelah tugasnya selesai, ia yakin kalau Vivi, Ara dan Shani akan kembali ke tempat asal mereka.
Aiko membutuhkan Ara untuk melacak keberadaan buronan mereka. Setelah itu ia membutuhkan bantuan Vivi untuk membuat buronan mereka tunduk dan mau untuk kembali ke tempat asal mereka dan dimasukkan ke dalam Fylaki.
"No. Perintah ayah udah mutlak." Tegas Aiko.
"Ah gak seru, udah kayak detektif aja." Gumam Vivi.
Ara menegakkan tubuhnya, ia menatap ke arah Vivi. "Kalo gak seru, kenapa lo gak balik ke Amartia? Lo bisa bunuh orang sesuka lo."
Vivi terdiam sebentar, ia meraih gelas minuman air dinginnya lalu ia teguk dengan cepat. Kembali ke Amartia? Itu terlalu cepat. Vivi bahkan baru merasakan hubungan antara dirinya dan Chika yang semakin dekat. Ia tidak ingin kehilangan perasaan itu, ia ingin terus merasakan perasaan bahagia dan senang.
"Udah-udah." Ucap Aiko. Ia mengambil kertas yang tadi ia simpan, ia merobek di salah satu nama dan ia berikan kepada Ara. "Tolong cari orang ini."
"Samuel?" Tanya Ara setelah menerima potongan kertas itu.
"Samuel? Samuel yang bawahan gue dulu?" Tanya Vivi.
Aiko menganggukkan kepalanya, "Iya, dia udah kabur lebih lama dari elo."
"Kalian bakal dapet orangnya satu jam lagi." Ucap Ara kemudian berjalan keluar dari dapur begitu saja.
Vivi melihat Ara yang sangat bersemangat berburu buronan. Ia masih teringat ucapan Ara saat berada di rumah sakit yang mengatakan kalau Fiony sudah bertunangan. Ia sedikit bingung saja, karena ia sangat yakin kalau Fiony dan Ara memiliki hubungan spesial. Jadi tidak mungkin Fiony bertunangan dengan prang lain begitu saja.